Rabbit Hole

364 46 4
                                    

Penat. Aku menumbukkan kepalaku ke atas tumpukan buku di meja belajarku. Menyebalkan! Tak ada pelajaran yang bisa masuk di kepalaku. Haruskah aku tidur? Dengan malas, kutarik sebuah buku, namun karena aku tak berhati-hatilah, aku membuat beberapa barang terjatuh.

Aku menunduk, mengambil buku di bawah bangkuku. Aku terkesiap, menemukan sesuatu yang terselip di antara lembaran kertasnya. Sebuah foto.

"Ah, Eomma, Appa," gumamku. Aku mengelus lembaran foto tersebut. Foto yang menunjukkan gambarku dengan kedua orangtuaku. Aku mengamati lekat-lekat, foto itu. Pikiran gila mulai muncul kembali di kepalaku. Benarkah, aku yang ada di foto ini? Aku menggeleng, menepis pikiran tersebut.

Aku meletakkan selembar foto tersebut di antara halaman bukuku. Lalu kututup dengan keras. Aku menghela nafas berat dan kuhembuskan dengan suara keras. Kenapa aku kembali merasa seperti ini? Asing dengan diriku sendiri.

"Siapa kau?" tanyaku pada diriku sendiri. Aku menatap refleksi diriku di cermin, mulai dari ujung rambut pirangku, hingga seluruh wajah dan tubuh yang terlihat di cermin. Benarkah ini aku?

Aku menggeleng lagi. Kepalaku sakit. Aku membuka pintu kamar dan mencari Eomma. Apakah mereka belum pulang? Ah, ya, kedua orangtuaku jarang ada di rumah. Appa ku, orang Amerika asli, sedangkan Eomma, dia orang korea. Jadi, wajahku memang campuran. Aku memiliki mata yang sedikit lebih lebar dibandingkan orang Korea. Tetapi, karena sejak kecil, aku tinggal di Korea---kata mereka---aku tak pandai berbahasa Inggris.

"Alice?" panggil suara lembut. Aku meletakkan remote TV dan menoleh ke arah Eomma.

"Eomma!" seruku seraya berdiri. "Kenapa sendirian?"

"Ah, Appa ada beberapa pertemuan dengan teman-temannya," kata Eomma. Ia mendekatiku dan duduk di sebelahku. "Kau sudah makan?"

Aku mengangguk. Kami jarang makan malam bersama karena mereka sangat sibuk. Eomma biasanya meninggalkan banyak makanan di kulkas, atau terkadang Jimin mengajakku makan di rumahnya.

"Eomma, aku ingin bertanya sesuatu padamu," kataku. Eomma mengerutkan kening, terlihat penasaran denganku. Sejujurnya, aku tak pernah banyak bicara dengan Eomma maupun Appa. Sekali lagi, bahkan dengan diriku sendiri saja, aku merasa asing, tentu saja dengan orang lain, aku lebih merasa asing lagi.

"Apa itu?" tanya Eomma.

"Eehmm, mungkinkah aku memiliki seorang saudara, ah, saudara jauh, maksudku---" kataku ragu-ragu. Eomma menatapku dengan lembut, seolah berusaha meyakinkanku bahwa, tak apa-apa, aku boleh menanyakan apapun. "---seseorang dengan nama Annalise. Adakah?"

"Annalise?" tanya Eomma bingung. "Siapa dia?"

"Ah, tak ada?"

"Sepertinya, tidak ada," jawab Eomma. "Kenapa menanyakan hal itu? Ada sesuatu yang terjadi?"

"Oh, anniya," kataku sambil melambaikan tanganku di udara.

Aku menonton TV kembali. Aku merasakan sepasang mata Eomma masih menyelidik, menatapku dengan bingung. Tapi, mimpi-mimpi aneh itu tak sekalipun ku ceritakan pada Eomma ataupun apa. Aku tahu, reaksinya akan sama dengan Jimin. Mereka hanya akan memintaku untuk mengabaikan mimpi dan bisikan tersebut.

***

"Eomma, Appa, aku pergi dulu," kataku setelah menyelesaikan sarapan. Aku meneguk susu cepat-cepat dan mengusap bibirku kasar.

"Perlu Appa antarkan?" tanya Appa. Tawaran yang sama, tawaran yang selalu kutolak. Aku menggeleng pelan. Kutarik tasku kuat-kuat, ternyata aku lupa tidak merapikan zippernya. Sial! Beberapa buku dan kotak pensilku berserak di lantai. "Kenapa ceroboh sekali, putriku," goda Appa yang kini menunduk, membantuku memunguti buku. Aku meringis.

Alice In The Weird LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang