Killer Smile

193 38 4
                                    

Kedua kakiku menyaruk tanah yang bercampur dengan air. Disini mungkin baru saja hujan. Beberapa kali aku hampir terjerembab jika saja Jimin tak menangkap tubuhku. Dengan nafas terengah-engah aku dan Jimin menyusuri semak yang begitu lebat ini. Benar-benar mirip dengan hutan, tentu saja dengan ukuran tubuhku yang tak lebih dari satu kaki.

"Alice..." panggil Jimin. Ia menghentikan langkahnya.

"Ehm?"

"Bagaimana kita bisa kembali ke wujud manusia?" tanya Jimin. Aku menggeleng pelan. Tanganku menyibak rumput yang tinggi menjulang di sampingku. Aku tak bisa melihat apapun selain hamparan rumput dan pohon berukuran raksasa. "Siapa yang harus kita temui? Dimana dia?"

"Nado molla...Jimin ah..." jawabku dengan nafas yang hampir putus. Untuk alasan tertentu, aku merasa begitu takut. Aku tak ingin tertangkap oleh polisi-polisi berwajah seram itu. Aku...Annalise tak mungkin membunuh Grams. Tidak! Itu tidak mungkin!

"Alice...bangunlah..." kata Jimin ketika aku mendaratkan pantatku di atas tanah. Kusandarkan kepalaku di sebuah batang bunga. Jimin menunduk, ia berjongkok di hadapanku. "Kau lelah? Katakan padaku, apa yang kau rasakan!"

Kutatap kedua manik mata Jimin yang dengan tegas menatapku. Sorot mata penuh kekhawatiran itu menyukaiku. Sudah lebih dari enam bulan, ia memberikan tatapan seperti itu padaku. Kedua bibirku bergetar, seolah ingin menerangkan pada Jimin apa yang sesungguhnya aku pendam selama ini, tapi...

"Alice...bangunlah. Kita akan menemukan misteri ini!" kata Jimin. Ia membuka telapak tangannya yang jauh lebih lebar dari milikku. "Take my hand!"

Jimin selalu menguatkan aku. Ia tak pernah lelah menghadapi sikapku yang berbeda seratus delapan puluh derajat semenjak aku terbangun dari koma.

"Aku takut," ujarku sambil terus menatap tangan Jimin.

"Haiissh..." desis Jimin lirih. Ia mengepalkan tangannya ketika tak segera kusambut. Dengan tiba-tiba, Jimin menyentuh pipiku. Aku membelalakkan mataku karena kaget. Ia mengangkat wajahku. "Kau yang berniat kemari, kau yang membawaku kemari. Jadi, ingatlah, kau tidak sendirian Alice. Aku juga ada disini. Oh? Jangan takut! Aku disini untukmu."

"Mianhae..." gumamku.

"Sekarang bangunlah, kita harus masuk ke hutan yang lebih lebat. Oh? Yang kuat!"

Jimin memeluk pinggangku dan dengan segera membuat tubuhku berdiri. Aku menatapnya lekat-lekat.

"Bagaimana jika aku bukan Alice?" tanyaku langsung. Hatiku bergetar tatkala Jimin memalingkan wajahnya dariku. Aku meraih tangan Jimin dengan ragu. Tangan yang selalu hangat itu. "Bagaimana Jimin ah? Aku takut."

"Lalu...kau akan tetap menjadi Alice ku hingga kita menemukan apa yang tersembunyi di balik misteri ini." Jimin tersenyum kaku. Ia sedi menunduk, menatapku sekilas sebelum akhirnya berpaling. "Jika kau bukan Alice, berarti aku harus menemukan Alice ku. Jadi, hingga semua misteri ini terkuak, kau tetap menjadi Alice bagiku."

Aku mengangguk pelan.

"Menurutmu, kemana kita harus berjalan?" tanya Jimin saat kami tiba di bawah pohon berukuran raksasa. Kurasa ini adalah perbatasan antara semak dengan hutan. Jinjja, akan lebih mudah jika kami memiliki ukuran tubuh manusia normal. Dengan ukuran ini, tinggi kami tak lebih dari rumput liar.

Aku memutar otakku, namun tak kuasa menemukan petunjuk kemana kami harus melangkah.

Kresseeekkkk...

Jimin dan aku sontak menatap ke sebuah pohon raksasa ketika terdengar suara keras. Aku meraih tangan Jimin dan menggenggamnya. Detak jantungku  meningkat seketika.

Alice In The Weird LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang