Into The Real World

208 36 31
                                    

Aku kembali dengan Jimin.

Aku melewati lubang aneh di dekat pohon yang mengantarkanku ke dunia tak masuk akal ini. Aku merasakan tubuhku tertarik, tersedot dan terhimpit kala kami meluncur di dalamnya. Jikalau bisa, aku ingin berteriak, akan tetapi suaraku telah teredam dengan sendirinya. Jimin tidak melepaskan tanganku. Ah, bocah itu, Park Jimin! Dia masih selalu sama.

Napasku terengah saat setengah tubuhku masih terperosok di dalam lubang. Jimin membungkuk, ia mengulurkan tangan padaku dengan senyuman lebar di wajahnya. Aku tidak lantas menerima uluran tangan Jimin. Alih-alih menarik tubuhku sendiri untuk keluar dari lubang, aku bertahan dengan kedua tanganku yang menumpu di tanah.

"Kau tidak mau keluar?" tanya Jimin dengan suaranya yang lembut, dalam dan menenangkan. "Alice, tidakkah kau merasa bahwa jika ada orang yang melihatmu sekarang, mereka akan menganggapmu aneh. Cepat keluar, ah! Ambil tanganku."

Aku menggeleng pelan. Bukan karena aku tak mau segera keluar, hanya saja ada hal-hal yang tertinggal di bawah sana. "Jimin-ah, kau pikir ... Annalise akan baik-baik saja?"

"Ah, kenapa menanyakan hal itu? Annalise sudah mengatakan untuk tidak mengungkit nama dan masalahnya ketika kita sampai di sini, bukan?"

Kuanggukkan kepalaku dua kali. "Tapi, masih saja, aku khawatir padanya. Aku cukup lama di sana untuk mendengar banyak berita buruk mengenai Annalise. Dia cukup ... nakal."

"Dia punya kekasih yang tampan dan mereka akan bertahan," kata Jimin dengan penuh keyakinan. Ia menyentakkan tangannya di depan wajahku. "Aku mengenal Annalise selama beberapa bulan terakhir, dia begitu kuat dan memiliki keteguhan hati yang tak terbayangkan. Ehm?"

"Aku penasaran, Jimin-ah," kataku. Jimin memiringkan wajahnya. Kurasa ia menyerah untuk menarik tubuhku keluar dari lubang. Ia pun berjongkok di depanku setelah kudengar helaan napas panjangnya. "Kau dan Annalise, selama kalian bersama ... mungkinkah ...."

"Kami tidak melakukan apapun!" Jimin bicara lebih dulu. Ia bahkan menepuk-nepuk puncak kepalaku. Aku mengerucutkan bibirku. Setelah kusadari, ternyata aku begitu merindukan Jimin. Aku gegabah dengan meninggalkan dia. "Annalise sepertinya tahu sejak awal jika dia bukanlah dirimu. Jadi, aku tidak bisa memperlakukan dia semauku. Hmmm, aku kehilanganmu, bahkan dengan keberadaan yeoja yang berparas sama denganmu ... tapi itu tidak merubah fakta. Aku tetap merasa kehilangan untuk waktu yang lama."

"Mianhae," ucapku lirih. Aku tertunduk seiring dengan jemari Jimin menyentuh ujung daguku. Ia mengusap pelan bibirku dengan ibu jarinya.

"Aku merindukanmu," bisik Jimin. Hampir aku tidak mendengar suara yang selembut angin itu. Jantungku berdetak makin liar. Kuangkat wajahku perlahan. "Aku benar-benar rindu." Sepasang netra indah Jimin terlihat berkaca-kaca meskipun kini ia tengah tersenyum padaku. Ah, Jimin. Aku juga sangat rindu padamu. "Sekarang cepat keluar dari lubang aneh ini!"

Aku mengangguk. "Tarik aku!"

Jimin berdiri kemudian mengulurkan tangannya. Kusambut tangan itu dengan penuh suka cita. Jimin menungguku dan aku juga ingin segera meninggalkan segalanya di bawah sana. Tidak-tidak, aku tidak boleh berlarut dalam urusan Annalise. Kami sudah berjanji untuk tidak saling memikirkan dan tidak akan bertemu kembali di masa depan.

Dengan segenap kekuatanku, kujejakkan kakiku di pinggiran lubang, Jimin pun menarikku kuat-kuat. "Ahhhh!" teriakku saat tubuhku limbung, Jimin dengan cekatan melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku tersengal. Jimin memelukku erat. Aku bisa mendengar detak jantung Jimin yang begitu keras. Oh, apakah ini suara jantungku, atau miliknya? Aku tidak yakin, aku hanya merasa sangat tenang. Kubalas pelukan Jimin yang sungguh hangat.

"Alice," panggil Jimin, "kau terasa semakin kurus."

Aku tertawa ringan, kugelengkan kepalaku hingga mengusap dada Jimin berkali-kali. "Aku mengalami hal yang buruk di sana. Mianhae, aku tidak manjaga diriku."

Alice In The Weird LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang