Satu

44 1 3
                                    

Mataku baru saja terbuka karena terik sebuah matahari sampai masuk di jendela kamarku. Ya itu pasti ibu. ibu yang selalu membuka jendela kamarku, agar aku ingat bahwa aku harus bangun untuk memulai kehidupanku.

"masih belum mau bangun juga? Ibu udah siapin susu sama roti di meja makan. Ayo cepat bangun" kata wanita itu yang berumur 50tahunan yang berdiri di pintu kamarku. Ya, itu ibuku wanita yang teramat aku cintai dan satu- satunya orang yang mengerti tentang hidupku selama ini.

"bu, ayodong. Biarin Nara tidur sebentar lagi. Lagipula inikan weekend ma. Waktunya Nara santai" kataku yang masih bersembunyi di balik selimut.

"Nara, ibu cape deh bilangin kamu. Kamu itu anak ibu satu-satu nya dan kamu itu anak perempuan ibu punya. Nara, kamu itu sudah cukup umur. Jangan buang waktu lagi. Kamu harus menikah" kata wanita yang semakin hari ku rasa semakin lelah mengurusiku.

"Bu, biarin hidup Nara mengalir seperti air" aku pun bangun dan duduk di kasur ku.

"Nara, Ibu hanya ingin melihat kebahagiaanmu. Karena umur Ibu yang tak tau sampai kapan. Dan Ibu tak pernah tau sampai kapan Ibu akan menemanimu" Ibu pergi, dengan wajah yang aku tau dia sangat kecewa dan hampir menangis.

Ya, lagi-lagi aku hampir saja menjatuhkan air mata Ibu, entah air mata itu mungkin sudah sering terjatuh tapi tidak tepat di hadapan wajahku. Ibu, wanita yang selalu hadir dalam hidupku, wanita yang selalu saja menjagaku meskipun aku jauh. Wanita yang paling mengerti perasaanku dan wanita yang selalu tahu rahasiaku meski aku telah menyembunyikannya.

Ya, aku menyembunyikannya begitu lama, begitu sakit dan begitu sangat terpendam.

Tiba-tiba dering handphone ku berbunyi begitu keras.

"lagi dimana Nara?" suara berat laki-laki itu selalu membuatku mengagetkanku dan tersenyum. Laki-laki itu seakan mempunyai radar jikalau aku sedang merasakan kesedihan yang sangat dalam. Entah karena persahabatan kita yang sudah dimulai dari kelas satu SMA, atau memang... ahsudahlah lupakan

"ah kau, mengapa harus menelponku pagi buta seperti ini? Aku bangkitpun belum dari tempat tidurku" aku menjawab suara yang berat itu dengan nada yang sedikit mengantuk dan rasanya ingin tertidur lelap lagi.

"pagi buta? Nara, kau ini wanita yang sungguh pemalas saat weekend. Kau seperti punya kepribadian ganda. Entah kenapa di hari weekdays kau selalu bersemangat untuk mencari uang. Tapi entah mengapa ketika hari libur kau seperti kehilangan gairah untuk hidup"

Hampir 13 tahun aku mendengar celotehan dia seperti ini, setiap pagi di saat hari sabtu ataupun minggu. Atau disaat dimana aku ingin merasa sepanjang hidup ku ada di tempat tidur untuk bermalas-malasan. Tapi, lelaki ini lah satu-satunya alasan yang bsia membuat hari liburku tak bsia bermalasan di tempat tidurku yang sangat nyaman ini.

"aku bsoan mendengar kalimatmu yang terus kau ulang hampir tiga belas tahun belakangan ini. Bsiakah kau tak menelponku setiap pagi saat hari libur? Bisakah?" kataku dengan sedikit berteriak.

"cepat, beranjaklah dari atas kasurmu yang bisa menyihir hidupmu saat hari libur. Lari ke kamar madnir, bersihkan seluruh tubuhmu. Aku akan menjemputmu 15 menit lagi"

Dan sambungan telpon pun terputus.

"ahhh lelaki ini, selalu memutuskan sesuatu tanpa harus tahu jawabanku ya atau tidak" aku membanting handphone ku ke atas kasur dan beranjak dair tempat tidurku yang dia bilang bisa menyihirku jadi orang yangs angat pemalas.

Entah mengapa aku tak mampu untuk bilang tidak, entah mengapa aku tak mampu untuk menolaknya jika dia memintaku, menyuruhku bahkan hampir 13 tahun aku melakukan ini. Dan hampir 13 tahun aku masih menyimpan semua ini.

TentangmuWhere stories live. Discover now