Jakarta hari ini hujan. Sama seperti hari-hari sebelumnya, penuh dengan jalanan becek dan deru suara hujan.
Alunan musik dari rintikan air hujan yang mengenai trotoar dibawahnya menemaninya duduk di ujung kursi warung kaki lima, seraya menyeruput pelan teh panas di sela kekhawatirannya. Gadis kelahiran Jakarta itu sedang menunggu taksi yang ia pesan dari aplikasi, ditemani guru pembimbing di sampingnya.
Dua jam yang lalu, dia baru saja mengikuti olimpiade Fisika di salah satu Fakultas ternama di Jakarta. Dan sekarang sedang terburu-buru kembali ke sekolah untuk mengikuti ulangan Fisika pertama di kelas sebelas.
Tipe-tipe anak rajin 'kan? Tapi sebenarnya tidak juga, dia sama seperti siswi lainnya. Kadang malas, kadang tidak buat PR, kadang tidur di kelas. Oke itu tidak penting, ada yang jauh lebih penting.
Taksi belum datang dan hujan semakin deras.
Ibu Ida, selaku wali kelasnya berdeham. Dia menggeser tas kerjanya kearah anak didiknya dan berdiri. "Ibu mau pipis sebentar ya, kamu tolong jagain tas ibu."
Mengangguk adalah pilihan terakhir yang bisa dilakukan. Perhatian yang sebelumnya ditunjukan pada kakinya langsung berputar pada puluhan orang yang serentak turun dari motor atau mobil hanya demi mengelilingi sesuatu di dekat halte.
Ia pikir ada artis lewat, tapi ternyata tidak. Wajah orang-orang itu jelas bukan menyiratkan kesenangan, melainkan kepanikan. Dan kini dia tahu, sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi. Atau mungkin, sudah terjadi.
Tanpa pikir terlalu lama, gadis itu bangun. Berlari melawan hujan yang menghantam tubuhnya keras menuju satu titik yang akan menjawab semuanya.
Terlihat beberapa pengendara, menjerit tertahan. Diujung kerumunan bapak-bapak sedang menelfon seseorang dengan wajah sama paniknya. Tak memandang walau hujan sekalipun.
Tubuh ringkih kedinginannya membelah kerumunan yang membuat matanya sukses membelak kaget. Disana, di atas trotoar jalan terlihat seorang lelaki berseragam sama dengannya terkapar lemah dengan pisau yang masih menancap di perutnya.
Darah sudah berceceran dimana-mana, mengikuti alur air hujan yang turun. Sama derasnya. Bahkan si gadis kini sudah lupa untuk bernapas, telinganya tak mampu mendengar jeritan atau teriakan orang di sekitar sana.
Semuanya kosong, hanya suara ringisan lelaki itu yang terdengar.
Layaknya cenayang, mereka semua tau tak banyak yang bisa dilakukan untuk laki-laki itu yang sebentar lagi akan meregang nyawa dengan sebab medis 'kehabisan darah'.
Hanya gadis bercardigan abu-abu tipis yang maju lalu mencabut pisau yang menancap kuat dengan tangan mungilnya yang sudah mulai keriput terbasahi air. Selanjutnya membuka lapisan terluar pakaiannya dan meletakannya di atas luka, menekannya agar darah tidak terus menerus keluar.
Sebenarnya ia juga tidak tahu pasti yang dilakukannya benar atau tidak, tapi inilah yang biasa dilakukan pemeran utama di drama Korea yang biasa ditonton.
Mengangkat kepala laki-laki itu secara perlahan dan menempatkan di atas pangkuannya. "Lo mungkin gak tau gue, tapi gue tau lo. Bantu gue, lo harus kuat. Bentar lagi ambulan dateng."
Tangan sang siswa bergerak meraih lalu mencengkram kuat-kuat tangan gadis yang bahkan tak dikenalnya. Ia membuka bibir, berbicara nyaris berbisik. "Tetep disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
NathaSya [ON EDITING]
Teen FictionNatha itu ganteng, cerdas dan ajaib. Segala sesuatu ia lakukan demi mendapatkan apa yang dia inginkan, tak terkecuali sempak Nobita di kartun Doraemon. Sasya itu cantik, pinter dan tertutup. Segala sesuatu juga ia lakukan untuk menjauhkan diri dari...