Riuh suara tepukan tangan dari para siswa yang sedang duduk lesehan di lapangan mengiringi langkah Sasya menuju podium kepala sekolah untuk menerima piagamnya. Pak Fahri, selaku kepala sekolah memberikan kabar gembira bahwa siswi itu kembali lolos dalam olimpiade Fisika tempo hari.
Meskipun sudah berdiri lama selama upacara dan juga terpapar panasnya matahari, para guru tak ada yang kewalahan berbondong-bondong menghampiri Sasya dan mengambil beberapa foto. Sedangkan para murid terlihat malas karena harus menonton orang berfoto sambil panas-panasan.
Disaat seperti inilah para murid berharap agar hujan turun dengan deras, atau badai sekalipun juga tidak apa-apa. Supaya upacara bendera ditiadakan, dan jika beruntung mereka akan diliburkan karena banjir.
"Baik anak-anak, sekian pengumuman hari ini. Selamat pagi," tutup Pak Fahri akhirnya, lalu terdengar banyak helaan napas lega.
Setelah menyerahkan kembali piala pada pihak sekolah, Sasya berjalan menuju kelasnya sambil mengusap wajahnya yang penuh keringat dengan tisu basah yang selalu ia bawa kemana-mana.
Tersenyum adalah hal yang ia benci nomer tiga setelah ikan cupang dan katak. Dan hari ini ia harus melakukannya lagi, menjawab ucapan selamat dari siswa maupun siswi yang lewat.
"Gila sih, makin hari sahabat gue yang satu ini makin tenar aja," Thea menarik bahu Sasya mendekat, merangkulnya dari samping. "Jangan lupa traktirannya loh."
Sasya mendengus, melepas rangkulannya dan mendorong pelan Thea menggunakan siku. "Bukannya diselametin, malah minta ditraktir. Hebat banget emang," sindirnya keras.
"Ih, maklum kali. Gue belum gajian ini, bokap sama nyokap belum transfer dari Bandung," ia menjawab. "Gini nih, derita jadi anak yatim."
Sasya mencubit lengan Thea. "Sst, ngomong gitu banget. Jadi yatim beneran tau rasa lo."
Thea spontan menggeleng, mengunci rapat mulutnya dengan kunci udara lalu membuangnya. Aduh, jadi takut kualat beneran nih.
Satu langkah lagi, dua siswi yang selalu menempel kemana-mana ini sudah sampai di ambang pintu kelas jika tidak saja ada sesuatu yang menghentikan mereka—atau lebih tepatnya seseorang.
"Ih kesel banget gue gila!" gadis bertubuh pendek dan sedikit gempal berjalan dengan menghentak mendekati mereka. Namanya Yaya, sahabat Sasya juga.
"Kenapa sih?"
"Gini loh, coba lo bayangin Sya. Gue dijadiin babu sama tu orang, mentang-mentang roti sobeknya baru dijait. Enak aja merintah-merintah."
Thea mencibir. "Eh gendut! Lo itu ngomong tu jelasan dikit kek, jangan bikin gue tambah stres gegara denger lo ngomong," tangannya menarik poni pendek Yaya yang teruai bebas di dahi.
"Apaan sih lo, gak perlu pake ngacakin poni gue ya!"
"Dih ngambek? Lebay banget."
"Lebay apanya, lo duluan yang ngacakin. Lo tau gak—"
"Tau apa? Lo pendek? Emang!"
"Apa—"
"Aduh, ni berdua kenapa sih? Jadi malah berantem gini," Sasya berkacak pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
NathaSya [ON EDITING]
Teen FictionNatha itu ganteng, cerdas dan ajaib. Segala sesuatu ia lakukan demi mendapatkan apa yang dia inginkan, tak terkecuali sempak Nobita di kartun Doraemon. Sasya itu cantik, pinter dan tertutup. Segala sesuatu juga ia lakukan untuk menjauhkan diri dari...