3. Pencari Cogan

343 34 3
                                    

"Ah shit," umpat Sasya kaget melihat seseorang menunggunya dari balik pintu. Tangannya mengelus dada. "Lo ngagetin gue tau gak? Untung gak jantungan."

Velix, lelaki yang semula menyenderkan tubuhnya pada dinding itu kini bediri tegak. "Lo ngapain?"

"Ngapain apa?"

"Ngapain di dalem."

Sasya menganggut paham. "Oh, anu—"

"Hah?"

Spontan Sasya menggeleng sangat kencang dengan wajah panik. "Ah, maksudnya tadi gue di dalem dikasi ini," jawabnya menunjukan contoh soal olimpiade tahun lalu yang barusan Ibu Ida beri. "Buat dipelajari katanya."

Kini giliran Velix yang mengangguk paham. "Lo nungguin gue disini cuma mau tanya itu?" tanya Sasya.

"Nggak. Tadi gue kebetulan lewat, terus ngeliat lo keluar dari ruang guru. Ya udah gue tanya," jelasnya tanpa ekspresi. Selang beberapa waktu, Velix berdeham. "Lo mau kelas?"

Sasya menganggukan kepalanya penuh semangat. Berharap bahwa Velix akan menawarinya—

"Yaudah, gue duluan," pamit Velix berlalu pergi tanpa basa-basi.

Dengan senyuman lebar, Sasya menjawab pamitan Velix sambil mengangguk. Baru saja merasa diterbangkan tingi ke awan, eh? Sekarang malah dijatuhkan lagi ke dasar sumur yang dalam. Kalau jurang udah maenstrim soalnya.

"Seenggaknya tawarin gue buat ikut kek, apa kek. Malah main pergi," gerutunya gemas. "Manusia triplek, ih serem."

***

Sepasang mata bulat berbinar cerah menatap seorang siswa yang sedang bermain gitar di dalam ruang musik yang kini ia intip.

Siswa itu adalah salah satu murid terkenal di sekolah. Namanya Bagas, wakil ketua Osis tahun ini. Memiliki otak encer, sifat yang tegas dan bakat yang banyak. Dia juga mengikuti ekstra renang, tak heran makanya banyak siswi yang kepincut.

Sebelas duabelas dengan Natha lah, tapi ini versi benarnya.

Merasa ada yang aneh di belakangnya, Bagas menghentikan permainannya dan menoleh.

Hah? Tidak ada orang disana tapi pintu yang awalnya terbuka sedikit kini terbuka lebar, jelas itu bukan angin karena pintu itu dipasang tralis besi.

Bulu kuduknya kini sudah berdiri tegak, bagus jika yang melihatinya diam-diam itu orang. Kalau bukan, 'kan serem.

Buru-buru Bagas melangkah keluar dari ruang musik yang luas itu bersamaan dengan Yaya spontan bersembunyi di ujung lorong agar tidak ketahuan.

Namun sial melanda gadis itu.

Di sebelahnya ada sepasang mata kecil yang mengamatinya dalam diam. Dengan hati-hati, Yaya menolehkan kepalanya ke samping dan memaki dalam hati begitu melihat seekor cicak. Lama Yaya dan cicak itu berpandang-pandangan hingga...mereka jatuh cinta. Eh bukan, maksudnya hingga...

"CICAKNYA NEMPLOK DI YAYA!" histerisnya tak peduli lagi dengan keadaan begitu musuh terbesarnya jatuh di bahunya.

Bagas yang sudah akan berbelok meninggalkan koridor ruang musik kembali berbalik begitu mendengar teriakan histeris seseorang. Awalnya ia pikir itu suara kunti atau semacam guru ngesot penunggu koridor, tapi setelah menemukan Yaya yang terkulai lemas dengan mulut berkomat-kamit tidak jelas, membuatnya menghela napas lega.

NathaSya [ON EDITING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang