2. Petunjuk Pertama

381 34 1
                                    

"Lix, kamu denger aku gak sih?" suara lembut nan merdu berhasil mengalihkan pandangan Velix. Ia menoleh, menatap gadis yang berjalan di sampingnya dengan kedua alis terangkat.

"Kenapa?"

Manda mendesah pelan. "Kamu denger aku 'kan? Aku ajak ngobrol diem terus, kamu liat apaan sih?" kakinya sedikit berjinjit untuk melihat sesuatu di balik punggung Velix. Gadis itu kemudian tersenyum miris, mengetahui apa yang sedari tadi pacarnya lihat. "Kenapa gak nyamperin dia aja sekalian? Aku gak papa kok, lagian juga udah mau bel masuk. Samperin aja."

"Man," lelaki itu akhirnya bersuara. "Kamu apaan sih? Aku liat dia cuma mau mastiin dia kenapa."

"Iya, aku ngerti. Tapi emangnya harus kamu ya? Selalu kamu? Dia emangnya gak punya temen lain?"

Velix menatap dalam mata Manda, ia menyerah. "Kamu bisa gak sih, sekali aja gak cemburu sama Sasya? Dia temen aku, dari SMP. Wajar kalo aku khawatir liat dia lari ke arah ruang guru, gimana kalo dia—"

Manda mengangguk. "Iya-iya, terserah deh Lix. Emang dasarnya dia jauh lebih penting 'kan daripada aku?" gadis itu mengangkat tangannya mencegah Velix mengueluarkan elakan lagi. "Aku lagi gak pingin berantem. Aku masuk ke kelas duluan," tanpa menatap wajah lawan bicarnya, Manda kembali berjalan, meneruskan perjalanannya ke kelas dengan hati kacau dan wajah tak enak dipandang.

Sementara Velix, masih diam di tempat dengan pandangan kosong dan pikiran melayang entah kemana. Badannya berbalik ke samping, menghadap ke seorang gadis dengan rambut yang tak pernah rapi perlahan memasuki ruang yang penuh dengan guru itu. Dia memang tak ingin tau apa yang terjadi, atau mungkin pura-pura tidak ingin.

Hanya saja otak dan tubuhnya tak mau bekerja sama. Kakinya secara mantap melangkah mengarah pintu ruang guru, menunggu penjelasan dari seorang gadis di dalam sana.

***

Sembari mengunyah permen karet Strawberry kesukaannya, Natha berjalan menyusuri koridor anak kelas IPA untuk menemui sepupu yang sebenarnya tak ia anggap sebagai seorang sepupu.

Sarah—mamah Thea—yang sekaligus tantenya, memberitahu bahwa supir mereka sedang sakit dan tidak bisa menjemput Thea. Mobil gadis itu juga sedang menginap di bengkel karena bannya yang kempes. Jadilah dengan amat sangat terpaksa Natha yang harus membawa manusia toa itu pulang ke rumah.

"Emang hape Thea kemana?"

Natha menoleh ke arah Arga, sahabatnya. Dia mengangkat bahunya acuh. "Tau tu, gue Line gak dibales."

"Ya lo coba telfon kek, siapa tau mungkin dia gak ngecek hape?" saran Arga dilanjuti sapaan manis kepada para siswi yang lewat. "Gila, gue jarang ke koridor anak IPA. Cantik ama bohay semua njir."

"Ye, pikiran lo—"

"—Ram lepasin gue," Natha berhasil menghentikan kata-katanya saat mendengar suara paling khas mengisi telinganya, suara paling cempreng lebih tepatnya.

Ia menatap pada ujung koridor dan mendapati sepupunya itu sedang mencoba mati-matian untuk melepaskan diri dari genggaman Rama, mantan pacar terlaknat dari Thea.

Kedua lelaki itu spontan berhenti untuk sekedar menonton apa yang sedang terjadi. Tangan kiri yang semula ia letakan di kantong, kini sudah keluar. Natha menggaruk ujung pelipisnya, menunggu kelanjutan drama siang hari yang akan terjadi. "Tu tokoh wayang buat masalah apa lagi?"

NathaSya [ON EDITING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang