Asap putih beracun mendepul di atas udara. Merusak indahnya angin pagi yang segar dan langit biru yang terang.
Keempat lelaki berseragam sama, dengan cara berpakaiannya yang juga hampir sama sedang menikmati benda kecil berwarna putih di bawah gudang sekolahnya. Tentunya, jauh dari pandangan guru dan rekaman CCTV.
Satu dari mereka kembali mengambil rokok dari bungkusnya kemudian mematiknya, setelah menghisap tiga batang sejauh ini. "Lo kenapa Nath? Ngerokok tapi gak ngerokok gitu?"
"Apasih lo babi? Gak jelas banget emang," kata Alden mengarah pada Arga sembari menginjak batang rokoknya, membuka minuman kopi yang dibelinya di kantin dan meminumnya.
"Lagi galau dia, mikirin si Bidadari Penolongnya," celetuk Dero kemudian. Diiringi suara kekehan kecil darinya.
Arga mengangkat sebelah alis. "Masih kepikiran juga lo Nath? Emang secantik apasih?"
"Bege. Lo malah nanya begituan," balas Alden sambil menoyor kepala Arga dengan tangan kiirinya yang bebas. "Harusnya tu nanya gini," ia memberi jeda. "Emang segede apasih Nath?"
Bangsat.
"Sianjing," umpat Arga. "Pikiran lo ya gak pernah bener," ia mengganti posisi duduknya menghadap Natha. "Tapi emang beneran gede Nath?"
Orang yang sedari tadi menjadi pusat perhatian, mengangkat kepalanya setelah membuang putung rokok dan mematikan ponselnya. "Bacot. Gue tau mukanya aja nggak."
"Lah terus lo masih yakin banget buat nemuin dia?"
"Ya 'kan dia satu sekolah sama kita," dengan wajah super unyu-unyunya tapi bohong, Natha menjawab pertanyaan Arga yang sebenarnya tidak membantu apa-apa.
Arga menggeleng frustasi. "Pinter emang, lo cuma mau ngandelin petunjuk itu? Gak ada ciri-ciri yang lebih spesifik gitu?" tak memberi kesempatan Natha untuk menjawab, Arga kembali membuka mulutnya.
"Moon maap aja ni ya Nath, di sekolah ini satu kelas ada dua puluh lima orang, kali sepuluh buat satu angkatan. Terus kali tiga buat tiga angkatan, tapi itu baru satu jurusan sedangkan kita punya tiga jurusan. Belum lagi yang masuk sini lewat prestasi ama beasiswa. Emang, bego lo gak pernah ngurang."
Natha mendesis kesal, menatap asal dengan tatapan tak minat. "Lagian si Dero nih, ngasi petunjuk dikit amat. Ya gue mana sanggup follow semua orang yang namanya Natasya? Sejauh ini baru tiga puluh tuju orang yang gue follow, itupun udah gak sanggup."
"Dih-dih, gak tau diri lo! Udah sukur gue punya niat buat bantuin, ngeluh lagi lo tai!" semprot Dero melempar bungkus makanan ringan kearah Natha.
Suara Lucinta Luna yang sedang bernyanyi menghentikan pertengkaran kecil diantara mereka, rupanya itu suara dering telepon Natha. Katanya sih, kalau denger suara Lucinta Luna bisa bikin mimpi indah terus.
Niki
Nama yang dari tadi pagi tak ingin didengarnya terlihat. Tak perlu banyak berpikir, jari jempolnya menggeser tombol merah kemudian menyimpannya di dalam saku.
Biarkan saja ia tak peduli, karena rasa pedulinya lebih ditujukan kepada Nata.., siapa tadi namanya?
***
Jika tadi mereka berempat nongkrong di gudang, sekarang mereka beralih nongkrong di depan pintu kantin. Aneh memang karena biasanya mereka lebih memilih duduk di pojokan sambil nobar video iya-iya agar yang lainnya tidak melihat. Alasannya mereka sudah rela begadang demi mendownload banyak video, eh? Yang lain main enak saja tinggal ikut nonton.
KAMU SEDANG MEMBACA
NathaSya [ON EDITING]
Teen FictionNatha itu ganteng, cerdas dan ajaib. Segala sesuatu ia lakukan demi mendapatkan apa yang dia inginkan, tak terkecuali sempak Nobita di kartun Doraemon. Sasya itu cantik, pinter dan tertutup. Segala sesuatu juga ia lakukan untuk menjauhkan diri dari...