Malam itu aku mengenakan setelan kaos dan jeans, Aldo menjemputku menggunakan mobil BMW-nya. Aldo memang sering sekali clubbing. Mabuk sudah merupakan hal yang biasa baginya. Dengar-dengar juga ia pemakai, namun aku tak tahu.
Mengapa aku ingin melihat wanita itu lagi? Entahlah, aku tak tahu. Sepertinya ada yang mengganjal semenjak tadi pagi. Semenjak ia melarangku dan mengkhawatirkan kalau aku terjerumus ke dunia malam.
Malam itu jalanan sudah lenggang, hanya ada satu atau dua mobil yang masih melaju. Tentu saja, ini sudah tengah malam.
"Ren, kenapa kamu mau ketemu cewek itu lagi sih? Sebenernya agak susah juga buat ketemu dia dan nyewa dia. Lumayan loh nyewa dia buat dateng di party-nya Ricki kemarin, dia abis berapa puluh juta setau aku. Tadi pagi juga aku mesti kontak beberapa teman, dia ga kerja di satu diskotik aja, dia pindah-pindah."
"Nggak apa-apa. Aku cuman tertarik sama dia, dia cantik. Tapi-"
Aldo tertawa keras,"Kamu jatuh cinta? Berharap buat jadi pacarnya? Gak akan bisa Ren, ga ada satu cowok pun yang berhasil jadi pacarnya atau sekedar dekat."
"Ga ada? Yakin?"
"Bener, lagian kalo emang suka juga, kamu mau sama bekas pelacur? Cewek-cewek gitu identik sama pelacuran sih. Tapi ya terserah, aku cuman bisa bantu aja."
Tak lama kemudian, mobil Aldo sudah meluncur masuk ke parkiran sebuah diskotik. Setelah mobilnya terparkir rapi, aku segera turun.
Sebenarnya ia salah mengira bila aku jatuh cinta pada Reza. Aku tak memiliki perasaan apa pun padanya. Aku hanya merasakan sesuatu dari kata-katanya kemarin.
Aku segera memasuki tempat itu. Aldo segera memesan whisky. Aku melihat Reza berada di panggung, menari dengan lincah, setiap pria yang melihatnya akan tergoda.
Aku mencari tempat duduk yang berhadapan dengan panggung. Aldo duduk di sampingku, mulai menegak whisky yang dibelinya.
"Ren, gak minum kamu?"katanya sambil mengeluarkan puntung rokok dari saku bajunya.
Aku menggeleng, fokus melihat ke depan. Kalian salah mengira bila aku menikmati tarian itu. Sama sekali aku tak tertarik pada hiburan di depanku. Aku tertarik pada ceritanya, alasan dari kata-kata kemarin yang terasa begitu sarat akan makna. Caranya menyebutkan kalimat-kalimat peringatan itu seperti meminta tolong.
Beberapa saat setelah Reza menari, beberapa tangan mulai berusaha menggapai-gapai tubuhnya di atas panggung. Kejadian yang sama seperti di pesta ulang tahun Ricki.
Dengan lembut Reza menepis tangan-tangan itu sambil tersenyum hangat. Entah sejak kapan pula Aldo sudah berada di dekat panggung, berusaha menggapai tubuh Reza.
Sama seperti kemarin, aku duduk di tempat, diam. Tak menyentuh sedikit pun miras di hadapanku. Berbagai pertanyaan berlalu lalang di kepalaku sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat seperti ini.
Semakin larut, semakin banyak orang yang tumbang. Sepertinya efek narkoba dan miras. Di tempat seperti ini narkoba bukanlah hal yang asing.
Sekitar jam setengah tiga, tempat itu sudah mulai kosong. Hanya ada beberapa orang yang minum-minum, mengobrol. Reza sudah turun dari panggung sejak tadi, berkemas.
Ia berjalan ke arah pintu keluar yang berada di belakangku. Ia agak terkejut melihatku duduk di sini. Tapi ia segera menyembunyikan wajah terkejutnya dan berjalan melewatiku.
Aku meraih tangannya, ia menoleh.
"Mengapa kau masih ada di dunia ini?"tanyaku pelan.
"Mengapa kau menyuruhku untuk menjauhi dunia ini sedangkan kau masih berkeliaran malam-malam di dunia macam ini?"
Ia hanya diam, menghela nafas.
"Mengapa kau pedulikanku? Ah, buanglah jauh-jauh harapanmu bila kau menginginkanku menjadi pendamping hidupmu."
Aku terkekeh pelan,"Cih, percaya diri sekali kau?"
"Lalu untuk apa kau peduli? Kemarin aku hanya berusaha menyelamatkanmu saja karena sepertinya kau lelaki baik-baik."
"Aku penasaran, apa yang membuatmu berada di sini sekarang. Padahal seharusnya tak ada alasan untuk terjun ke dunia seperti ini, sekalipun itu kemiskinan atau tekanan."
Reza hanya diam.
"Sudahlah, lebih baik kau pulang sekarang. Aku sedang tak ingin bicara dengan siapa-siapa."ucapnya sambil kembali melangkahkan kakinya.
Aku hendak meraih tangannya lagi, tapi tanganku segera ditepisnya kuat-kuat.
"Meski aku berada di dunia ini, bukan berarti aku murahan dan mau dipegang-pegang seenaknya."kata-katanya dingin, ia menatap tajam ke arahku, lalu melanjutkan langkah kakinya menuju pintu.
Aku terdiam sejenak di kursi, kemudian beranjak berdiri. Aku tak tahu bagaimana kehidupannya. Lalu, mengapa aku berlagak sok peduli dan sok tahu seperti ini? Kalimat itu mengiang-ngiang di benakku.
Aku melangkahkan kakiku keluar dari tempat laknat itu. Menyusuri gang-gang agar sampai ke kosanku. Penerangan di gang itu minim sekali, sangat rawan, bahkan untuk seorang laki-laki sepertiku. Aku mempercepat langkahku, ketika mendengar suara teriakan wanita dari gang di kiriku. Aku bergegas memasukki gang tersebut. Samar-samar aku melihat tubuh itu menggeliat, meronta-ronta. Dua orang lelaki bertubuh kekar mengerjainya, seakan-akan ia boneka tak bernyawa. Tak ada sehelai kain pun yang melekat di tubuhnya.
Aku mendekati mereka dan menyadari sesuatu.
Reza! Ya, itu Reza!
Aku segera berlari bagai singa hendak menerkam mangsanya. Perkelahian tak terelakan. Entah mengapa amarahku memuncak melihat mereka memperlakukan wanita sekeji itu.
Aku menonjok salah satu dari mereka dengan keras, lalu menyadari aku sendirian melawan tiga pria kekar. Huh, seharusnya aku menang, dahulu aku sering berkelahi dengan preman. Tapi, sudah lama aku berhenti, mungkin aku tak sekuat dulu.
Berkali-kali aku telat menghindari serangan mereka, tendangan demi tendangan, pukulan demi pukulan menghantam tubuhku. Aku sudah tak selihai dahulu. Namun akhirnya aku bisa menumbangkan tubuh-tubuh kekar itu satu persatu. Amarahku sudah meledak dan bila itu terjadi, takkan ada satu pun mahkluk yang tak terluka.
Reza terlihat menggigil, bola matanya membesar melihatku. Aku segera menyerahkan jaket yang kukenakan lalu berjalan pergi.
"Tunggu!" Teriaknya padaku. Aku menghentikan langkahku, menoleh.
"Tolong, kumohon antarkan aku ke rumah," suaranya bergetar, aku tahu ia kedinginan sekaligus ketakutan. Aku menghela nafas.
"Ayo, pakai jaket itu."
Jaketku panjangnya selutut. Memang selalu kupakai jaket itu walau panjang. Jaket itu menemaniku di masa-masa kelamku sampai sekarang.
Setelah tubuhnya tertutupi, ia berjalan ke arahku, memeluk tanganku. Aku hanya diam, mengikuti arahannya ke rumahnya. Tak ada satu pun dari kami yang membuka percakapan, meski sepatah kata. Aku tahu jiwanya begitu terguncang atas kejadian tadi.
Sesampainya di rumahnya, ia tak membiarkanku masuk ke dalam. Menyuruhku menunggu sebentar untuk berganti baju dan mengembalikan jaketku.
"Terima kasih," ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Aku mengangguk, lalu ia segera menutup pintu rumahnya.
Di perjalanan pulang, entah mengapa aku memikirkan berkali-kali kejadian tersebut. Bagaimana lelaki memandang wanita, bagaimana mereka melecehkan dan meremehkan wanita. Entahlah.
Sesampainya di kosan, tubuhku ambruk. Hari ini terlalu melelahkan untukku.
***
A/N: PLEASE VOTE AND COMMENT YA! Butuh masukkan dan support nih. Tolong abis dibaca bintang kuning di bawah di klik :) makasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan
RandomSemua wanita akan iri melihatnya. Parasnya yang cantik, kecerdasan, dan kelihaiannya menari dan memainkan alat musik dapat menghipnotis lelaki mana pun. Tapi semua itu yang membuatnya membenci diri sendiri, membenci semua lelaki, merutuki kelahirann...