Satu

340 19 33
                                    

"Seorang Ayah tidak akan marah dengan anaknya, meskipun permintaannya tidak terpenuhi. Karena pilihan seseorang anak bukan seutuhnya di tangan orang tua. Orang tua hanya mampu memberi saran agar langkah anak-anaknya tidak salah."

"Ko sekolah di mana!!!" ucapan Ayah dari luar kamar membangunkan pagi, di hari akhir pendaftaran sekolah.

"Enggak tau yahh..."nada sedih menjawab pertanyaannya. Dengan mata sayup layu baru bangun.

"Kan aku suruh ko sekolah di tempat abangmu dulu!!! (Smk teknik)" bentaknya mulai tinggi, yang selalu membandingkan aku dengan abang yang mendapat beasiswa dari sekolah tersebut.

"Aku mau sekolah dekat teman-temanku yahh (Sma). Aku nggak mau sekolah di situ." Jawabku mulai serak basah tanda haru menyelimuti pagi. Menjawab pertanyaan yang setiap hari terucap.

"Ya udah terserahmu situ! mau sekolah ko! mau enggak! ko urus sendiri!!!" bentaknya meninggalkan kamarku.

Air mata kesedihan menyambut pagi menemani suasana haru hatiku. Selimut permintaan yang tak kunjung terbentang olehnya. Rasa sesak di dada mengalir kedalam tubuhku-setelah mendengar ucapannya yang tidak perduli lagi. Suasana hari itu terasa kaku melihat tingkah Ayah tidak acuh lagi ke padaku.

"Aku pergi daftar sekolah dulu yahhh...?" meminta izin untuk pergi medaftar sekolah. Namun tidak ada sepatah kata terucap olehnya.

Beban besar mengiringi langkah kaki menemani kebimbangan hati untuk menentukan sekolah. Ada seribu pemikiran yang menghantui benakku.

Jika aku mengikuti teman-teman tentunya Ayah tidak peduli lagi denganku. Namun jika aku mengikuti permintaannya, aku tidak tau mau jadi apa nantinya. Isi hati menemani setiap langkah kaki. Pilihan yang sulit untuk ditentukan. Hingga akhirnya, ku tekatkan dalam hati untuk tidak memilih ke-duanya.

Didalam perjalanan, aku menemui sebuah sekolah baru di pinggiran kota. Sebuah sekolah menengah kejuruan berbasis komputer. Meskipun hanya sedikit niatku, tetapi dengan segenap cita-cita yang kubawa. Aku niatkan dalam hati untuk mentukan pilihan akhri itu.

Sesampainya di sekolah tersebut aku menuju meja pendaftaran. Saat itu seorang guru wanita bertubuh tinggi berwajah cantik di tutupi hijab merah yang melayaniku di meja pendaftara.

"Buk saya mau nanya, pendaftaran apa masih di buka buk?" tanyaku dengan wajah kusut dengan beban pikiran yang tidak mampu ku sembunyikan.

"Masih nak, ini hari terakhir pendaftaran, kamu mau daftar disini?"

"Iyaa buk, saya bingung mau daftar di mana."

"kenapa sendirian ke sini nak, orang tua kamu kemana?" Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab.

"Orang tua saya lagi keluar kota buk, ada acara keluarga mendadak." Alasan yang tidak logis dengan bibir kebohongan yang terpaksa terucap.

"Ya sudah, kamu isi formulir pendaftaranya dulu." Sambil mengarahkanku ketempat duduk yang terlah di sediakannya.

Setelah selesai mendaftar. Aku melangkah pulang sambil mencari alasan yang tepat untuk berbicara dengan Ayah nantinya.

Setibanya aku di rumah, suasana hening tampa suara saatku ucapkan salam.

"Assalamualaikum." Tidak ada jawaban dari dalam rumah. Aku sangka rumah kosong saat itu. Ternyata Ibu tidak mendengar salamku yang berada di dapur.

"Kok kayak ayam masuknya?" Ucap Ibu yang melihatku sedang berjalan.

"Udah tadi buuu." Jawabku seiring dengan memutar bola mata meliriknya.

"Ayah kemana bu?" Tanyaku kembali disaat akan menghampirinya.

Tidak Seindah MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang