Part 10 - Truth make hurt

807 79 29
                                    

"Boleh nggak, aku berjuang rebut kamu dari cowok lain?"

"Ariel?!!"

Mendengar namanya dipanggil, Ariel menolehkan ke belakangnya yang diikuti oleh Aya. Dan mereka berdua sama-sama terkejut dengan apa yang mereka lihat. Orang itu berjalan mendekati mereka dengan wajah marah.

"Eh, ada Aya juga. Hai, Ya!"

Kesadaran Aya kembali saat wanita cantik itu menyapanya. Walaupun tatapan yang ia dapat tidaklah baik. "Hai, Tante."

"Kalian ketemu lagi? Kalian... nggak pacaran, kan?"

"Oh, nggak, Tan. Kan Kak Ariel baru aja pindah ke sekolah aku, kita baru ketemu lagi. Karena kita temenan udah lama dan udah lama juga nggak ketemu, makanya kita jalan. Buat ngebangun chemistry pertemanan kita lagi aja. Hehehe."

"Oohh. Kirain pacaran. Jangan yaa, kalian jangan pacaran!"

"Ma!!!" bentak Ariel karena sudah tidak tahan dengan pelakuan Ibunya kepada Aya.

"Apaan sih, Riel?! Kamu jangan lupa ya, nggak boleh! Karena sayangnya Tante nggak restuin. Kamu tau kenapa, Ya? Karena Ariel udah ada yang punya dan udah mau tunangan. Yeaayy. Tante seneng banget. Kamu ikut seneng kan karena temen kamu akan segera bertunangan?"

Jatuh, bangkit. Jatuh lagi dan bangkit lagi dengan harapan yang besar. Tapi lagi-lagi ia terjatuh ke lembah yang lebih dalam. Itulah yang Aya alami sekarang. Dan tanpa ia ekspresikan pun, semua orang tau bagaimana rasanya jika berada di posisinya saat ini.

Bukankah kemarin ia sudah tahu bahwa ada kemungkinan akan kembali terjatuh karena Ariel? Lantas kenapa ia gampang sekali terhanyut dalam pesona Ariel? Sehingga sakit ini kembali ia rasakan. Semakin parah.

Aya menatap Ariel yang duduk di depannya. Ariel menunduk, tanpa mau membalasnya. Sekarang Aya tahu tentang kebenaran dari perkataan Bianca—Ibu Ariel, hanya dengan melihat wajah Ariel saat ini.

Aya mengatur laju nafasnya yang memburu karena menahan agar air matanya tidak keluar di depan mereka. "Selamat, Kak. Semoga semua urusannya lancar." Aya tidak dapat berbicara lebih panjang lagi, karena ia ingin segera menumpahkan rasa sakit yang ia rasakan saat ini.

Boleh nggak, aku berjuang buat rebut kamu dari cowok lain?

Bayangan itu kembali muncul pada saat yang tidak tepat. Aya manahan sekuat tenaga agar air matanya tidak jatuh. Ia tidak ingin terlihat lemah.

Ariel mengangkat wajahnya dan menatap Aya, memperlihatkan wajah memohon untuk meminta maaf dan ingin menjelaskan semuanya. Paham dengan itu, Aya menganggukkan kepalanya dan berusaha tersenyum.

"Kalo gitu Aya permisi dulu, Tante. Udah malem." Aya mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam yang bertengger di sana. Jam sudah menujukkan 6 PM. "Udah sore, takut dimarahin mama. Aku pulang duluan. Permisi."

"Kakak ante—" Pergerakan Ariel saat ingin berdiri langsung terhenti ketika tangannya yang ditahan oleh Bianca.

"Maaf ya, Aya. Arielnya nggak bisa nganterin kamu pulang. Kamu bisa pulang sendiri, kan? Hati-hati ya, Sayang, salam buat mama papa kamu."

Ariel menatap Aya dengan perasaan bersalah. Sedangkan Aya langsung tersenyum dan mengangguk. "Iya, Tante, Aya bisa pulang sendiri kok. Sekali lagi permisi."

Berjalan dengan perasaan yang tidak karuan membuat Aya sempat menabrak orang yang berlalu lalang di restoran itu, dan parahnya ia tidak terpikir untuk meminta maaf. Keluar Mall, ia langsung menghentikan taksi dan menaikinya. Saat sudah di taksi, karena tidak sanggup lagi menahan, Aya pun menangis terisak tanpa mempedulikan tatapan khawatir dari supir taksi tersebut. "Loh loh loh, Neng. Kok nangis? Neng sakit ya?"

Lily Of The ValleyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang