Exchange Love Letter

456 46 21
                                    

"Kamu mau kado apa dari aku?" Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari perempuan yang duduk di sampingku, apa dia baru saja menyinggung tentang hadiah ulang tahun?

"Aneh." Jawabku singkat.

"Kok aneh? Kan aku nanya."

"Aneh, harusnya hadiah ulang tahun itu rahasia supaya jadi spesial."

"Norak, aku kan ulang tahunnya gak jauh beda sama kamu, maksud aku tuh biar kita bisa request."

"Emang kamu mau apa?" Kali ini giliran aku yang bertanya.

"Gak tau, aku juga bingung. Makanya aku nanya dulu ke kamu."

"Kamu aja udah cukup kok." Jawabku bermaksud menggodanya.

"Ih apaan sih." Dia membalas perkataanku sambil mencubit lenganku pelan.

"Jangan salting." Godaku, sekali lagi.

"Ih, cepet jawab kamu mau apa dari aku." Astaga, dia masih menuntut jawaban atas pertanyaan anehnya itu.

"Apa ya...." Kali ini aku benar-benar berpikir, apa hadiah unik yang berkesan namun tidak norak dan terlalu mahal karena ya kalian tahu kan bagaimana kondisi keuangan murid SMA?

Ah, aku hampir lupa. Hai kalian yang sedang membaca ini, perkenalkan aku Ardan. Ardani Darel Prasetya, disini aku akan menceritakan beberapa pengalaman manis dan mungkin pahit, yang aku lakukan bersama perempuan disebelahku ini. Namanya Dinda, aku sudah menjalin hubungan dengannya sejak kelas dua SMA.

"Masa kupon lagi?" Aku mendadak ingat, tahun lalu saat kami berdua ulang tahun kami saling bertukar kupon yang berisikan hal-hal apa saja yang kami inginkan.

"Gak mau, kamu tuh mintanya yang aneh-aneh. kapok aku." Aku tersenyum, tahun lalu Dinda marah kepadaku karena aku memintanya untuk menggunakan high heels setinggi hampir sepuluh sentimeter ke taman di dekat kompleks rumahnya. Padahal kami hanya berjalan sekitar dua ratus meter namun Dinda tidak berhenti mengeluh dan akhirnya dia menyerah lalu melemparkan benda itu ke tong sampah (Padahal aku menghabiskan seratus lima puluh ribu untuk membeli nya).

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar Dinda lalu melihat tumpukan Postcard yang dia dapat dari sahabat pena-nya.

"Surat." Ucapku, Dinda yang sedang berpikir langsung menoleh.

"Hah? Surat?" Tanya nya, memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar.

"Iya, surat. Jadi disurat itu kamu tulis apa aja hal yang kamu pikir tentang aku terus hal yang kamu ingin dari aku sama hal yang kamu suka tentang aku, ya pokoknya terserah kamu deh yang penting tentang aku. Nanti aku juga bakal buat surat tentang kamu."

"Boleh diketik?" Tanyanya. Astaga wanita ini benar-benar.

"Males banget, ditulis tangan dong."

"Oke, oh iya kan ulang tahun kamu tanggal sebelas aku tanggal sembilan belas, terus kita ngasih suratnya kapan?" Tanyanya lagi, kali ini dengan tatapannya yang sangat menggemaskan.

"Tanggal dua puluhnya dong, sayang." Jawabku sambil mengacak-acak rambutnya pelan.

"Ih berantakan deh rambut aku." Dia mengeluh sambil merapikan rambutnya.

"Sini aku rapihin." Aku merapikan rambutnya yang memang berantakan sejak tadi karena Dinda sangat tidak bisa diam, kadang bersandar di punggungku atau menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Aku bingung deh." Ucapnya tiba-tiba.

"Bingung kenapa?" Tanyaku.

"Kita udah sama-sama itu hampir dua tahun, tapi kenapa jantung aku tetep gak karuan ya kalo lagi ditatap gini sama kamu?" Ucapnya polos.

Cerita KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang