MALAM pertama di pulau Kalimantan, Dira lewatkan dengan menginap di rumah Ika. Ternyata suami Ika juga memiliki rumah di Palangka Raya yang berdampingan dengan kantornya. Pagi-pagi Ika dan Arif telah berangkat ke Kasongan. Mereka menitipkan Dira pada salah satu anak buah Arif. Diantar anak buah Arif, Dira melapor ke Dinas Kesehatan Provinsi. Setelah menyelesaikan berbagai surat-menyurat, ia dijemput oleh perwakilan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Katingan. Ternyata ada dua lagi dokter baru yang dijemput pada hari itu. Seorang bernama Arga dan satu lagi bernama Widya, yang adalah dokter kontrak seperti dirinya.
Perjalanan menuju ibukota Kabupaten Katingan sangat lancar. Jalan beraspal mulus. Bagi orang yang terbiasa dengan kemacetan Jakarta, jalanan itu terasa bagai jalan tol. Sangat lengang. Kiri-kanan jalan kebanyakan tanah kosong yang ditumbuhi pakis-pakisan. Ada pula yang masih berupa hutan.
"Pakis apa di pinggir jalan itu, Pak?" tanya Dira. "Yang pucuknya kemerahan itu?"
"Itu kelakai, Dok. Tunasnya bisa dibuat sayur," jawab Pak Wawan, Kepala Bagian Pelayanan Kesehatan Dinkes Kasongan. "Kalau pohon yang besar-besar itu pohon durian. Katingan terkenal dengan produksi duriannya."
Dira tidak bisa makan durian, karena itu ia tidak tertarik. Berbeda dengan Arga dan Widya. Sepasang kekasih lulusan FK negeri di Jawa Timur itu langsung histeris.
"Kalau sudah musim, harganya murah. Dokter bisa makan sepuasnya," terang Pak Wawan lagi.
Sekitar satu setengah jam kemudian, mereka sampai di kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Katingan.
"Ini surat-surat kelengkapan administrasinya," kata Pak Wawan. "Dokter Arga di Puskesmas Pegatan 2. Dokter Widya di rumah sakit."
"Dokter Dira sudah yakin kan di Pegatan 3? Jauh lho tempatnya," tutur Pak Wawan.
"Yakin, Pak!" jawab Dira mantap. Selama ada Kaka di sana, aku yakin aku akan baik-baik saja. Hehehe.
Dira dan Arga diantar menggunakan mobil dinas menembus pedalaman Katingan. Arga ditugaskan di Pegatan 2, Puskesmas yang bertetangga dengan Pegatan 3. Keduanya berada di hilir Sungai Katingan. Sedangkan Widya berpisah dari rombongan, karena ia akan menuju ke arah hulu. Gadis itu cemberut terus karena sebenarnya ingin ikut ke Pegatan. Apa daya, secara tak sengaja Dira lebih cepat mengajukan lamaran untuk Pegatan 3.
Setelah satu setengah jam, perjalanan darat mereka berakhir di dermaga kayu tradisional, di tepi Sungai Mentaya. Mereka beralih menggunakan kelotok panjang. Tadinya Dira membayangkan akan naik kapal berkecepatan tinggi seperti speed boat di Pantai Ancol. Ternyata ia hanya mendapati perahu kayu tradisional yang diberi mesin besar sehingga dapat melaju dengan cepat.
Perjalanan air tersebut terasa menakjubkan bagi Dira. Baru kali ini ia mengarungi sungai sebesar itu. Air sungai keruh kecokelatan. Tepian sungai sebagian besar hutan dengan pepohonan besar. Dira sempat melihat monyet bergelantungan di pepohonan.
Perjalanan mengikuti arus sungai ke hilir. Semakin dekat ke hilir, rumah-rumah penduduk semakin banyak. Rumah-rumah itu khas, dibangun di atas sungai, disangga tongkat-tongkat kayu. Tampak gedung-gedung bertingkat bertebaran di sepanjang tepiannya. Namun, ada yang aneh. Gedung-gedung itu kecil tanpa jendela.
"Yang bertingkat itu bukan rumah orang, Dok." Pak Wawan menjelaskan. "Itu rumah walet."
"Oh? Walet?"
"Iya, Dok. Sarang walet mahal. Sekilo bisa tiga belas sampai dua puluh juta."
"Mahal amat? Buat apa?"
"Diekspor ke Cina. Untuk obat atau sup kesehatan. Kurang lebih begitu. Saya juga tidak terlalu paham."
Ada gelombang yang cukup besar saat kelotok mereka mendekati muara Sungai Mentaya. Wajah Dira sedikit panik, dan segera diketahui oleh Pak Wawan.
"Amaaaan, Dok," ucap lelaki itu. tangannya kemudian mengarah ke depan. "Di depan sana Laut Jawa, Dok."
Dira terpana. "Kalau begitu, kita berada di ujung selatan Pulau Kalimantan?"
"Betul sekali, Dok!"
Tak berapa lama, kelotok berbelok arah ke kiri, memasuki sebuah anak sungai yang arusnya jauh lebih tenang. Tanpa diminta, Pak Wawan memberi penjelasan layaknya tour guide.
"Ini namanya Terusan Hantipan, menghubungkan Sungai Mentaya dengan Sungai Katingan. beruntung sekarang air tinggi, Dok. Kalau pas surut, kelotok kita bisa nyangkut." Pak Wawan mengakhiri perkataannya dengan senyum lebar penuh arti.
Dira manggut-manggut saja. Pandangannya beredar merekam kehidupan masyarakat di kiri dan kanan sungai, hal yang sangat asing bagi orang yang tinggal di kota besar seperti dirinya. Sekitar satu setengah jam kemudian, mereka keluar dari Terusan Hantipan dan memasuki Sungai Katingan. Melihat bayaknya rumah penduduk di kiri dan kanan sungai, Dira bergerak menyiapkan diri untuk melabuh.
"Masih jauh, Dok," ujar Pak Wawan. "Kita menuju hilir dulu, lalu belok ke kiri, masuk ke sungai satunya. Kalau terus ke muara, kita nyasar ke Puskesmas Pegatan 1."
Dira mengangguk lagi. Benar saja, beberapa waktu kemudian, perahu mereka membelok memasuki sungai yang lebih kecil. Di sini rumah-rumahnya tidak sepadat di tepian sungai induk tadi.
"Di sini lebih sepi, Dok," ucap Pak Wawan. "Kalau Dokter perlu apa-apa bisa menyeberang ke Pegatan. Ada pasar dan bank juga di sana. Di sini juga ada pasar, tapi kecil."
Tak lama kemudian, mereka telah berada di wilayah kerja Puskesmas Pegatan 3.
Ternyata cuma begitu saja perjalanannya?
Kenapa Kaka nggak mau menjemputku?
Kalau aku jadi dia, akan kujemput!
Dasar pemalas!
☆☆☆
Akhirnya Dira sampai di Puskesmas yang dituju, Puskesmas Pegatan 3. Dira tertegun menatap gedung Puskesmas di hadapannya. Gedung itu berupa bangunan permanen yang terbuat dari beton. Tampak terlihat beberapa bangunan besar di dalam kompleks yang luas tersebut. Sepertinya itu adalah gedung utama dan gedung rawat inap. Di samping kanan, terpisah oleh jalan kompleks, berjajar rumah-rumah kayu. Jumlahnya cukup banyak karena berjajar hingga ke halaman belakang gedung Puskesmas.
Yang cukup menyita perhatian Dira adalah kondisi gedung Puskesmas yang tampak tak terawat. Halamannya juga tidak terawat, banyak rumput liar tumbuh di sekeliling halaman. Sampah pun berserakan di sembarang tempat.
Drg. Fandi Mahardika, yang dipanggil Kaka, datang menyambutnya, diikuti staf Puskesmas yang lain. Pak Wawan memperkenalkan Dira kepada semua orang.
"Ibu Dira akan menjadi Pelaksana Tugas Kepala Puskesmas Pegatan 3."[1]
Dira melongo.
Kok bukan Kaka? Dia, kan, duluan sampai di sini?
Pak Wawan menoleh padanya, seperti tahu apa yang ia pikirkan.
"Itu keputusan Pak Kadis[2], Bu." Pak Wawan meringis penuh kemenangan. Ia puas sekali. Ia yang mengusulkan keputusan itu kepada Kepala Dinas. Ia yakin Dira lebih mampu dari yang lain. Setelah dokter umum sebelumnya pindah paksa karena tidak betah, dan karena tidak satu pun pegawai Puskesmas ini termasuk Fandi yang ia nilai bisa memperbaiki kinerja Puskesmas. Ia bahagia ada dokter baru yang bersedia bekerja di sini. Mana pemberani dan cantik lagi. Semoga targetnya untuk mengantarkan semua Puskesmas di kabupatennya terakreditasi tahun ini bisa tercapai.
___________________
[1] Disclaimer: Mungkin saat ini sudah tidak memungkinkan dokter kontrak menjadi Plt. Kepala Puskesmas. Namun, ada suatu masa di mana dokter umum, entah PNS atau kontrak/PTT, secara otomatis menjabat kepala Puskesmas. Setting ini hanya demi kepentingan alur cerita.
[2] Kadis = singkatan yang umum untuk Kepala Dinas. Di kabupaten, kepala dinas itu sebuah jabatan satu level di bawah bupati, membidangi hal-hal khusus tertentu, seperti kesehatan.
—Bersambung—
Follow akunku supaya nggak ketinggalan update.
Jangan lupa, tinggalkan jejak vote atau komen. Seneng banget kalo ada yang mau begitu ❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
THE YOUNG LION # Republish-Revisi
General FictionCeritanya dijamin nggak mainstream, boleh dicoba. Dira, seorang dokter baru yang memendam luka karena tumbuh dalam keluarga broken home, memilih bertugas di Puskesmas terpencil di ujung selatan pulau Kalimantan, demi mendekat kepada sang kekasih, dr...