Panas sinar matahari yang menyengat kulit menyambut Dira saat turun dari pesawat. Ia sudah diberitahu banyak orang bahwa udara Kalimantan itu lebih panas dari Jawa karena lebih dekat ke khatulistiwa. Bahkan salah satu kota di tetangga provinsi dilalui titik nol garis lintang khatulistiwa, yaitu Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Ternyata benar. Kulit Dira yang putih terasa panas dan mulai memerah.
Tidak ada bus penjemputan untuk mengantar penumpang ke terminal kedatangan karena jaraknya yang dekat. Cukup berjalan kaki tidak sampai lima menit, mereka sudah berada di teras terminal.
Sambil melangkah sepanjang aspal landasan menuju ruang pengambilan bagasi, pandangan Dira tak henti-hentinya meneliti kondisi sekitar. Ternyata seperti ini Palangka Raya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Kesan pertama adalah ....
Senyap?!
Di tepian bandara masih ditumbuhi hutan kecil dan padang ilalang. Bandara Tjilik Riwut—yang namanya diambil dari nama gubernur pertama provinsi ini—lebih kecil dari Bandara Ahmad Yani Semarang, dan jauh lebih sepi. Yang berada di tempat ini hanya pesawat yang Dira tumpangi.
Barangkali jumlah penerbangannya sedikit. Tapi suasana senyap ini ... aku suka!
Bagi penghuni Jakarta yang sehari-hari menerima polusi udara dan polusi suara di sepanjang jalan, perjalanan kali ini terasa mewah bagi Dira. Bebas polusi dan bebas bising.
Dira mengikuti arus orang-orang menuju tempat pengambilan bagasi. Tempat itu sederhana, hanya terdapat dua ban berjalan. Di depan ban berjalan terdapat pintu keluar yang telah terbuka lebar. Dira mengamati orang-orang yang berjubel di dekat pintu, mencari keberadaan penjemputnya.
Seorang perempuan muda berwajah bulat dan bertubuh mungil menyeruak dari kerumunan sambil melambaikan tangan.
"Dira!" Suara renyah yang tak asing itu langsung melengking. Ika melambaikan tangan di ambang pintu keluar.
Dira bergegas ke pintu untuk menjumpai Ika, sahabatnya, lalu melepas kangen dengan memeluknya.
"Hai! Udah lama nunggu?" sapanya sembari mengulurkan tas berisi oleh-oleh. Pandangan Dira beralih ke sosok jangkung yang berada di belakang Ika. "Halo, Mas Arif. Baru keluar dari hutan, nih, ceritanya?"
"Iya, nih. Demi jemput kamu," sahut Arif sambil melempar senyum manis. Dira telah mengenal suami Ika sejak mereka kuliah di Semarang.
Mata Dira kontan melebar saat melihat balita yang belum genap berusia dua tahu dalam gendongan Arif, suami Ika. "Iiiiiih! Ini Jalu, ya? Halo, kenalan dulu sama Tante Dira, dong?" Dira mengulurkan tangan ke arah anak kecil yang wajahnya cetakan wajah sang ibu.
"Jalu, ayo kasih salam sama Tante Dira!" ucap Ika. Jalu mengulurkan tangan mungilnya sambil menatap heran pada Dira. Gadis itu segera menyalami Jalu dan mencolek pipinya yang tambun.
Dira senang mendapati Ika yang segar dan bahagia dengan keluarga kecilnya. Ika adalah teman satu regu Koas saat kuliah dulu, satu dari sedikit orang yang benar-benar ia percaya. Ia terpisah dari Ika setelah lulus karena Ika sempat mengambil cuti melahirkan di saat-saat akhir siklus Koasnya. Selanjutnya, mereka hanya berkomunikasi lewat telepon dan sosial media.
Setelah menyapa Ika dan keluarganya, mata Dira celingukan mencari seseorang. Seketika ia kecewa. Sosok lelaki kerempeng, berwajah rupawan dengan hidung mancung, sorot mata lembut dan bibir kemerahan itu tidak ditemukan di mana pun.
Kaka nggak datang?
"Kaka tadi telepon aku, Ra," kata Ika seperti tahu kegelisahan hatinya. "Dia nggak bisa datang karena tempatnya jauh banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE YOUNG LION # Republish-Revisi
Ficción GeneralCeritanya dijamin nggak mainstream, boleh dicoba. Dira, seorang dokter baru yang memendam luka karena tumbuh dalam keluarga broken home, memilih bertugas di Puskesmas terpencil di ujung selatan pulau Kalimantan, demi mendekat kepada sang kekasih, dr...