---Tiga B---

771 105 5
                                    


Pak Wawan dan Arga melanjutkan perjalanan ke Puskesmas Pegatan 2. Dira lalu membuntuti Kaka menuju rumah dinas yang diperuntukkan bagi kepala Puskesmas. Rupanya deretan rumah kayu di samping Puskesmas tadi adalah jajaran rumah dinas. Kaka juga mendapat rumah dinas yang terletak tepat di samping miliknya. Punya Dira paling depan, punya Kaka sesudahnya.

"Kenapa sih, pakai ganti Puskesmas segala? Bukannya pilihanmu dulu Mendawai?" tanya Kaka sambil memasukkan barang-barang Dira ke rumah kayu itu.

Dira meringis. "Kuganti lamarannya. Biar dekat kamu. Kita udah bicarakan itu lewat telepon, kan?"

"Yaaa ...." Kaka mendesah. Padahal ia sudah memilih Puskesmas terjauh agar tidak satu tempat kerja dengan Dira. "Aneh aja kita kumpul satu kantor."

"Kok bisa?" Dira mulai curiga. Kok reaksinya begitu? Dia nggak senang aku di sini?  Matanya mencari-cari ke dalam manik mata Kaka, berusaha menelisik hati kekasihnya.

"Kamu diam aja waktu kubilang dulu," ujar Dira

"Kamu baru bilang setelah kirim lamaran. Aku bisa apa?"

Sekarang Dira merasa ada yang tidak beres dengan lelaki bertubuh kerempeng itu. "Kamu nggak suka kita dekat?"

"Enggaaak, enggak masalah kok!" cetus Kaka, ngeles maksimal. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja ia merasa pengabdiannya di Puskesmas ini akan panjaaaaang sekali.

Dira melihat-lihat tempat tinggal barunya. Sebuah rumah panggung terbuat dari kayu dengan tiga kamar tidur. Dari semua bangunan rumah dinas yang ada di kompleks Puskesmas itu, rumah dinas kepala Puskesmaslah yang paling besar. Sekilas, rumah itu terlihat menyedihkan. Cat dindingnya yang putih telah pudar di sana sini. Cat kusennya juga kusam. Dira tidak tahu, kekusaman itu karena kotor, karena kualitas cat kayu yang buruk, atau keduanya. Rumput liar tumbuh tak teratur di kaki rumah.

"Rumah dinasmu paling besar!" Kaka menjelaskan. "Yang lain cuma punya dua kamar tidur. Punyamu tiga. Ruang tamu dan ruang keluarga juga terpisah. Kamar mandinya di dalam. Punyaku di luar, di samping teras belakang. Aku jadi malas pipis malam-malam."

"Loh, kalau kebelet banget kamu tahan sampai pagi?"

Kaka meringis. "Enggaklah, mana tahan?"

Dira menatapnya dengan sorot keheranan.

"Nanti juga tahu," jawab Kaka bergaya misterius, lalu memberi isyarat tangan agar Dira mengikutinya naik ke teras rumah. "Yuk, masuk!"

Rumah itu ditopang kayu penyangga setinggi satu meter. Ada tiga anak tangga menuju teras yang dilengkapi dengan pagar dan dua bangku kayu. Lantai rumah itu juga terbuat dari kayu. Begitu kaki menapak di lantai, suaranya berdebum, dan membentuk sedikit getaran. Sensasi unik itu seketika meluruhkan kegondokan Dira. Sudah lama ia ingin merasakan tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu seperti ini.

Lumayan!

Di ruang tamu telah tersedia satu set kursi tamu sederhana, terdiri dari satu meja kayu, dua kursi tunggal, serta satu kursi panjang. Kursi itu mempunyai bantalan busa dan dilapis kulit sintetis berwarna abu-abu yang telah kusam. Kerangkanya terlihat kasar dan peliturnya sebagian sudah luntur.

Tak apalah, yang penting bisa dipakai duduk.

Dira tidak menemukan meja makan, hanya meja kerja dan kursi kayu, serta bufet kecil di ruang tengah. Selain perabotan yang ada di ruang tamu dan ruang tengah, ia tidak menemukan yang lain. Semua kamar kosong. Bahkan gayung untuk kamar mandi pun tidak ada. Jendela-jendela masih polos tanpa tirai. Untung rel tirainya masih utuh.

"Dulu ada vinyl pelapis lantainya," terang Kaka. "Tapi sudah diberikan ke teman Bang Yudi di Puskesmas Pegatan 2. Buat sementara, kamu bisa pakai tikarku."

Dira hanya bisa mengangguk sembari mulai mengendus kesederhanaan hidup yang segera akan dijalani. Apalagi setelah melihat kondisi rumah yang kotor, seperti jarang ditinggali. Padahal dokter yang lama baru pindah dua minggu yang lalu, mengapa rumah ini seperti peninggalan kakek buyut? 

Dira membuntuti Kaka ke kamar tidur utama yang beraroma apek dan berdebu. Di salah satu sudut, tangan Kaka mengangkat sepotong kayu lantai yang panjangnya hanya sekitar 30 cm. Begitu terangkat, angin berembus dari kolong rumah, masuk ke kamar dan menerpa kedua wajah sejoli itu.

"Buat apa lubang ini?" tanya Dira seraya mengamati tanah di bawah lantai.

"Macam-macam. Kamu bisa membuang sampah sapu-sapu. Bisa juga untuk ...." Kaka memutus kalimatnya dengan cengiran lebar.

"Astaga, Kaka! Kamu pipis di situ?" Mata Dira mendelik.

Pacarnya hanya mengangkat bahu tanpa ekspresi malu sama sekali. "Praktis, 'kan?"

Dira hanya bisa berdecak-decak dan geleng-geleng kepala. "Kaka, mana kasurnya?" tanya gadis itu kemudian.

"Memang enggak ada, Ra," jawab Kaka. "Mungkin sama Bang Yudi diberikan ke orang. Setahuku dia juga membeli sendiri perlengkapan rumahnya. Aku beruntung, dapat kasur warisan dari dokter gigi yang dulu, tapi selebihnya juga kubeli sendiri."

"Terus, gimana aku tidur malam ini?" tanya Dira, setengah menuntut karena tidak bisa menutupi kekecewaan. Kamu kok nggak pengertian banget, sih? Tega aku tidur di lantai dengan jendela tanpa tirai?

Kaka rupanya menangkap kekecewaan Dira. "Mau tidur di rumahku sementara?"

Kontan saja, Dira melotot. "Ogah! Nanti orang mengira kita kumpul kebo."

"Mau kuantar belanja?" usul Kaka lagi, tanpa merasa bersalah.

Dira menatap kekasihnya dengan pandangan tak percaya. "Kamu sayang sama aku atau enggak, sih?"

Sekarang, ganti Kaka yang tercengang menatap kekasihnya. "Kamu marah? Aku salah apa?"

Dira tak bisa menjawab.

Ya, ya, ya. Aku bukan Ika, dan kamu bukan Mas Arif. Baiklah! Aku mengerti!

"Enggak, aku nggak marah. Antar aku belanja!" ucap Dira akhirnya. "Habis itu, bantu aku bersih-bersih, ya?!"

Kaka mengangguk. Dengan sigap ia mengambil kunci sepeda motor dinasnya, lalu memboncengkan Dira ke toko kelontong terlengkap di kecamatan itu.


—Bersambung—

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE YOUNG LION # Republish-RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang