PROLOG

1.3K 179 147
                                    

HIVI - PELANGI

YNK

Ini dari Langit yang menawan.

Aku fikir, aku sudah binasa karena keterpurukan ini. Mungkin cinta, mungkin juga penyesalan.

Saat kumasih menanti indahnya pelangi saat semuanya musnah, menyakitkan.

Saat harapan bahwa hati ini untukmu masih ada.

Setelah kusadari bahwa hati ini benar-benar terlambat untuk mengetuk. Hancur, pergi, sia-sia.

Dan juga saat manik mata ini melihat dirimu bahagia dari kejauhan.

Saatku tahu. Kau penipu.

Yang kuharapkan tak membaca, Kejora.




                                            •YNK




  Bisu.
  Benar-benar bisu.

  Ruangan selebar dua puluh kali lipat kamar mandi sekolah itu benar-benar bisu. Menciptakan keheningan tak berdenyit.

  Dindingnya berwarna putih bersih, tanpa goresan noda tertinggal. Daun pintu cokelat dengan dihiasi cuilan kayu rapuh itu benar-benar rapuh. Daun pintu itu cukup tinggi, namun terlihat sudah lelah berdiri.

  Tepat di tengah atas pintu tersebut terpapar tulisan yang dapat menyayat hati siapa saja yang lewat.

RUANG BK.

  Dengan papan nama berukuran sepuluh sentimeter kali duapuluh sentimeter merekat erat-erat di sana.
  Tak ada satupun anak yang ingin masuk ataupun berharap masuk ke ruangan itu.

  "Amit-amit! Ogah gue! Mending nginep di kuburan semaleman ketimbang nyasar di sono!" celetuk mereka.

  Terkadang, ada di antara mereka yang mencoret-coret tembok bagian kiri. Unik-unik.

  "Dilarang masuk. Penjara anjing."

  "Kalo gakuat, ya gausah masuk!"

  "Jangan coba-coba masuk lu, ada nenek gayung! Jadi tempe penyet lo ntar!!!"

  dan bla, bla, bla.

  Tapi, Ada satu yang menarik. Ini tulisan perempuan penggemar Langit. Satu kelas dengan Kejora. Rebecca namanya. Bunyinya kira-kira seperti ini :

  "Banci lo kalo gamasuk ke sini! Gue aja jago masuk sini jing!"

  Namun apa daya seorang Bintang Kejora Claudia yang sedari tadi memasang muka getir sekaligus pasrah di ruangan itu. Ia kembali mengingat-ingat kejadian yang membuatnya ada di ruangan itu.

  Ruang itu adalah 'ruang isolasi' di gedung berwarna putih bersih itu. Setiap ada yang masuk di ruangan itu, berarti dia terdakwa. Dan adapula hakimnya. Siapa?

  Perempuan paruh baya yang bokongnya melakat erat-erat di kursi itu. Setia dengan tempat tersebut. Udah kaya pacar.

Namanya ruang BK. Dan guru itu, Bu Agnes-Catat itu. Kalau perlu beri garis bawah.

  Naas.
  Hanya ada dua makhluk Tuhan yang saling berhadapan. Empat manik-manik mata bertatap tajam, saling memandang.

  "Bagaimana, Kejora?"

  Yang ia lihat kini hanya pemandangan seseorang dengan berkacamata bulat. Bu Agnes menurunkan kacamatanya, kedua tangannya dibulatkan pada meja kayu. Seolah-olah aku ini TERDAKWA.

"Kejora!?" Bu Agnes mulai geram.

Kasus yang menimpanya saat itu adalah : DITUDUH MEMBOCORKAN KUNCI JAWABAN ULANGAN SEMESTER AKHIR. So weird kah itu?

TAKUT.

  "Ti..tidak mung..mungkin bu. Bu.. bener bukan saya, saya tidak mel—"

  "Yang ada di ruangan itu kamu! Dan ga ada satupun yang ada di samping kamu saat itu!" Kali ini, perempuan paruh baya itu benar-benar muak dengan sikap siswanya.

  Bu Agnes berkutat dan berdiri tepat di depan bongkahan buku-buku yang berjejer rapi di dalam himpunan rak.

  "Ingat! Kunci jawaban itu rahasia sekolah! Peraturan di sekolah ini tegas! Kamu, Tetap akan saya beri--"

  "SAYA YANG PATUT MENERIMA HUKUMAN!!!!"

  Deg.

  Seorang laki-laki yang tak asing lagi baginya mengambil posisi membelakangi perempuan yang dianggap terdakwa itu. Sisi punggungnya menghadap padanya. Menuaikan nafas terengah-engah seraya mencegah Bu Agnes untuk menegur Kejora.

  "SAYA YANG MELAKUKANNYA." Seorang laki-laki itu berkata dengan nafas tersengal-sengal. Mulutnya bergetar.
Bu Agnes hanya bisa melongo melihat sosok Langit yang berdiri tegap tepat di depan beliau.

"Langit?! Bagaimana bis.."

"Waktu itu, saya tidak sengaja mengambil kertas dari ruang guru. Saya fikir itu kertas ulangan harian saya." Ia memotong pembicaraan. Tangannya meraih sesuatu, mengambil tempat di sebelah Kejora yang kosong. "Lalu saya pergi dan meninggalkan kertas itu di ruang kelas saya. Kemudian Kejora masuk dan memegang kertas itu. Teman-teman datang, lalu menuduhnya sebagai tersangka. Saya ceroboh, maaf." Langit mencoba menatap mata perempuan itu hingga batas retina.

   Sumpah, kali ini Kejora berasa setengah hampir mati, di bawah alam kesadaran.

Langit ngelakuin ini? Nggak. Nggak mungkin. Batin Kejora.

"Sudahlah bu. Biarkan saya yang menanggung semua ini." Langit mencoba berdiri. Kedua tangannya menekan meja.

Bu Agnes geleng-geleng. Sama sekali masih tidak menyangka dengan rekan karibnya ini.

  Dengan nafas yang sedikit terengah-engah, ia coba menenangkan diri. Wajahnya memerah, enggan melihat ke arah tempat Kejora duduk. Benar-benar pembelaan yang hebat. *kyaaa

  "Ah sudahlah. Kejora, kamu boleh kembali ke kelas. Dan kamu, Langit," Bu Agnes berjalan lebih dekat lagi. "KELILING LAPANGAN TENIS TIGA PULUH KALI. CEPAT!"

"Siap." Dengan gesitnya, Langit keluar ruangan isolasi menuju ke ruangan terbuka alias lapangan sekolah yang luasnya tiga kali lipat panjang kantin sekolah. Tidak segan-segan Kejora mengikuti langkah kakinya.

"Per..Permisi Bu."

YNK

  Gue tau, Lang. Lo boong lagi. Ga seharusnya lo ngelakuin ini ke gue. Gue tau, lo pinter banget yang namanya ngarang cerita, Lang.. Tapi udahlah. Udah cukup Lang, cukup. Terlalu banyak, Lang. Banyak banget.
  Tapi makasih, Lang. Makasih atas pembelaanmu yang ke seratus dua puluh kalinya. Makasih.

                                           •YNK

Namanya Bintang Kejora Claudia.
  Yang tadi, namanya Langit Angkasa.

Bintang melengkapi angkasa, dan angkasa melengkapi bintang. Begitu seterusnya.

  Walau begitu, anggapan Kejora padanya adalah sebatas sahabat kecil yang tulus, setia menemani, dan ada di setiap air mata yang jatuh di antara mereka. Tidak lebih. Jahatkah?

  Apakah handai taulannya kini benar-benar punya rasa padanya?

-prolog

You (Never) KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang