5. Aku, dia, dan peristiwa (1)
Pergi, bukan untuk meninggalkan. Namun kepergianlah yang harus membawa pelajaran sampai nanti terbit kembali.
•YNK•
"Tangkep, Bin!" Salah satu dari mereka berteriak kencang-kencang agar ada yang menampani bola.
Pantulan bola oranye berseleret kuning ditambah gesekan sepatu mereka menggema sampai di sudut-sudut ruangan. Bola itu mengikuti operan pawangnya, dari passing atas lalu memantul di antara kedua kakinya, menelungkupkan badan, dan menggelindingkan ke belakang, lalu ke depan lagi dan berpaling dari lawan, hingga pada akhirnya berhasil mencetak point. Mereka bersorak.
Bintang Dirgantara.
Mungkin sangat tidak familiar bagi kalian. Penggila Michael Jordan, pemain basket kebanggaan Washington, Amerika. Ritualnya ini rutin ia lakukan selama empat tahun terakhir. Kerap kali ia menjunjung nama baik sekolahnya yang dulu—berhasil menjuarai lomba basket tingkat nasional. Posisinya selalu di depan. Dan kerap kali menjatuhkan strategi lawan.
Bintang beruntung. Berada di keluarga yang sempurna—dulu. Saat semua orang memerhatikannya, menjadikan pusat perhatian karena ketampanannya, matanya yang indah, dan yang positif-positif saja.
Tapi naas. Pada tahun ketiga masa kejayaannya, justru sebuah perkara mematahkan antusiasme—nya. Kedua orangtuanya—Devan dan Alda, bercerai. Dan kemungkinan besar sudah memiliki keluarga sendiri-sendiri. Entah, Bintang sama sekali tidak merindukan mereka yang telah berpisah berpuluh-puluh kilometer darinya sekarang.
Alda selingkuh.
Kecewa itu pasti.
Rasanya seperti tulang-tulangnya patah secara bersamaan. Tubuhnya berat, seperti ditimpa karungan semen. Dadanya sesak. Asmanya sering kambuh. Ditambah dengan bantahan demi bantahan yang kerap kali menyayat-nyayat hatinya.
Ingin dendam, tetapi dendam pada siapa? Tidak ada yang dapat dibela maupun dipersalahkan.
Mereka? Tidak ada yang mau diajak berbicara, atau curhat. Andai saja ia menemukan seseorang yang siap bersedia mengisi kekosongan hatinya. Bodoh!
"Good job, bro!"
"Thanks, udah gabung ke kita-kita,"
"Besok gabung lagi, oke? Kalo baru kan, musti sering-sering main,"
Bintang hanya tersenyum simpul sembari menggencat bola basket yang sedari tadi diinjak.
Kalian tau, ia tidak sendiri. Masih ada orang-orang yang 'mungkin' menyayanginya. Termasuk Risya, satu-satunya saudara angkat yang berbeda tiga tahun lebih tua darinya.
Kepergiannya ke Jakarta yang bukan lain adalah untuk menemukan kehidupan baru, dimana ia ingin melupakan kejadian demi kejadian sadis itu menghantui dirinya lagi. Bergaul bersama teman-teman barunya di ibukota, Jakarta. Dan melukiskan peristiwa-peristiwa mengejutkan yang menantinya di sana. Terutama masalah pujaan hati.
Jujur sih, Bintang hobi terkesima dengan cewek-cewek yang galak. Apalagi yang suka dikepang-kepang.
•YNK•
Ini ronde terakhir. Timnya menang.
Bintang langsung menyabet handuk putihnya, menyeka bulir-bulir keringat yang membasahi rambut hitam legamnya itu.
"Bro, besok main lagi," Brian mengambil tas putihnya, dan mengganti kaos oblong basket dengan seragam putih abu-abu.
Yang dipanggil namanya menoleh, lalu mengangkat tangan setinggi-tingginya dan mengacungkan ibu jari untuk mengisyaratkan maksud 'iya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
You (Never) Know
Teen Fiction[ON GOING] -If you know, if you understand- Aku mencintaimu dalam diam, lain lagi dengan dia. Copyright©2016 -All Rights Reserved-