enough [ii]

47 5 2
                                    

Seorang gadis kecil berumur sekitar lima tahunan sedang berlari-larian di halaman belakang rumah. Ia langsung menuju ayunan yang berada di salah satu pohon. Ia menaikinya dan bermain ayunan sendiri. Angin menyapanya membuat rambutnya terbang tinggi bersamaan saat ayunan yang ia naiki berada di atas, lalu turun naik ke atas, turun lagi naik ke atas lagi, turun lagi naik ke atas lagi sampai seterusnya.

"Yee~"

Ia terlihat sangat senang. Ia tidak bisa tidak memamerkan gigi kecil nan cantiknya tersebut.
Hingga saat ia akan menapakkan kakinya di tanah untuk mendorong ayunannya, justru ayunan tersebut berhenti. Ia menoleh ke arah belakang dan menemukan sosok papanya yang sedang tersenyum ke arahnya. Ia pun langsung loncat dari ayunan dan memeluk sang papa.

*****

📍bagian dua - sesuatu📍

Setelah kejadian diseret Ankaa dari klinik seminggu yang lalu, hubungan mereka kembali membaik. Dia benar-benar menepati janjinya. Menjemput Rise pagi-pagi dan ikut membantunya membereskan klinik. Ankaa tampaknya sudah tidak marah padanya. Saat Rise bertanya ada masalah apa, dia pasti tidak akan menjawabnya bahkan mengalihkan pembicaraan. Dan akhirnya Rise menyerah, tidak akan menanyainya lagi. 

Kehidupan Rise sehari-hari berjalan normal seperti biasa, tidak ada yang spesial. Pagi berangkat sekolah, sore pulang, jika ada kegiatan ekstrakulikuler pulangnya juga lebih sore lagi, lalu malamnya tentu saja mengerjakan tugas-tugas sekolah. Entah itu tugas essay, pekerjaan rumah, bahkan membuat presentasi atau membuat makalah.

Itulah yang paling ia benci selama berada di high school. Tugasnya pun tugas kelompok, dimana hanya anak-anak yang rajin yang akan mengerjakan dan saat itu juga anak-anak lainnya hanya ikut dalam namanya saja padahal mereka tidak pernah membantu. Jangankan membantu, untuk menengok saja tidak pernah. Atau mungkin lebih parahnya bahwa mereka tidak tahu jika ada tugas. Sama sekali tidak mempunyai perasaan. Mereka hanya ingin senangnya saja tetapi tidak ingin susahnya. Sungguh miris sekali.

Tetapi kalau bukan ia yang mengerjakan siapa lagi. Orang lain? Tidak mungkin. Bagi Rise mungkin saja kita bisa menyuruh orang dan membayarnya dengan uang, tapi itu semua percuma. Kita diberi akal dan pikiran percuma saja kalau tidak digunakan dengan baik dan benar, harus kita bersyukur terhadap apa yang sudah diberi Tuhan, pikirnya.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 22.15. Waktunya untuk tidur, tetapi tentu saja tidak. Ia tidak bisa tidur jika tugasnya belum selesai. Mungkin orang lain beranggapan bahwa ia orang bodoh yang mengerjakan tugas hingga malam hari, demi mendapatkan nilai A harus butuh perjuangan yang begitu berat. Tetapi ia mengerjakannya dengan semangat bagaikan kobaran api yang membara, karena tentu saja ia ingin mendapatkan nilai yang bagus, begitu pula dengan teman-temannya yang hanya ikut dicantumkan namanya.

Butuh konsentrasi yang cukup untuk bisa mengerjakan tugas di malam hari. Staminanya sudah terkuras seiring berjalannya dengan waktu dan tentu saja ia juga butuh istirahat yang cukup. Tetapi konsentrasinya tidak bisa bertahan lama disaat seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Dek, sudah makan belum?" tanya Regis, sering dipanggil dengan Kak Regy, setengah badannya yang sudah masuk di kamar Rise. "Ini sudah malem, kenapa belum tidur sayang?"

"Males makan kak, udah kenyang. Iya bentar lagi tidur," ujar Rise sambil sambil menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan pelan kemudian kembali membaca buku paket sejarah.

"Kapan makannya?? Tadi gak lihat pas makan malam," omel Regis dengan berjalan masuk ke kamar Rise dan tanpa sadar ia sudah duduk di tepi ranjang milik Rise. "Udah dulu tugasnya, mending istirahat aja."

enough (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang