enough [vii]

12 6 0
                                    

📍bagian tujuh - hanya mimpi📍 

Setelah berbelanja 'sesuka hati' dari Walmart, Rise kembali duduk dalam diam. Ia merasa suntuk di dalam mobil yang ia tumpangi hari ini, atau lebih tepatnya saat ini. Tidak ada percakapan, tidak ada musik, dan tentu saja tidak ada yang menyenangkan. Benar-benar bosan memang. Sampai-sampai ia terlarut dalam pikirannya sendiri.

Ucapan Mr. Samael membuat Rise kaget dan mendongakkan kepalanya ke arah sumber suara, "nona kita sudah sampai rumah." Rise pun langsung sadar segera turun dari mobilnya, berjalan pelan masuk ke dalam rumah.

"Oh ya semua barang nona Rise sudah ada di kamar nona. Silahkan beristirahat." Mr. Samael mengucapkan dengan pelan dan dibalas oleh Rise, "terima kasih Mr. Samael." Dan tak lupa ia senyum 'dipaksakan' terpancar di wajahnya dan melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.

Saat Rise memasuki rumah, ia langsung berjalan menuju ruang keluarga. Rise sendiri mengacuhkan pandangan di sekelilingnya. Ia duduk di salah satu sofa yang ada disana berusaha istirahat sejenak, menghilangkan rasa penat hari ini. Hingga terdengar suara yang sangat dirindukan oleh Rise.

"Apa segitunya hingga tidak memperhatikan sekelilingnya?" Rise yang mendengar suara tersebut langsung berhenti dari aktivitasnya. Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh orang tersebut. Rise berdiri dan mencoba mencari ke arah sumber suara, mendapati sosok yang dirindukannya duduk di ruang tamu, tangannya memegang sebuah tab, matanya fokus dengan layar yang ada ditangannya itu.

Rise tidak percaya dengan apa yang ada hadapannya. Berulang kali ia mengerjapkan matanya, tetapi pandangannya tidak kabur orang tersebut masih ada, berdiri dihadapannya. Lalu ia mencubit tangannya sendiri rasa sakit menjalar di tangannya yang ia cubit, berarti ini nyata bukan mimpi semata.

Perkataan orang dihadapan Rise membuat ia sadar karena sibuk dengan dirinya sendiri, "apa putri kecilku ini tidak rindu denganku, sayang?"

Rise pun kembali sadar dan langsung berlari menuju Sebastian, tak lupa merentangkan tangannya memeluk orang tersebut dan dibalas oleh papanya. Mereka berpelukan sangat erat, lama, saling menyalurkan rasa rindu, dan tidak ada salah satu dari mereka yang ingin melepaskan pelukan tersebut. Disela-sela pelukan tersebut, Rise menangis dalam diam, tetapi Sebastian tahu bahwa putrinya tersebut menangis, karena merindukannya.

"Tak apa sayang, menangislah dengan keras. Papa tahu itu." Ucap Sebastian pelan sambil menepuk-nepuk punggung putrinya dengan pelan. Rise yang mendengar itupun langsung menangis terisak, melepaskan rasa rindu dengan papanya. Tubuhnya bergetar hebat, sesenggukkan mulai terdengar. Rise sudah sering ditinggal oleh papanya karena urusan pekerjaan, namun baginya berpisah dengan papanya merupakan hal yang sangat berat. Rise benar-benar tidak ingin melepaskan pelukannya dengan orang yang sangat-sangat ia rindukan.

"Ken-kenapa papa ba-baru pulang seka-rang? Rise ka-kangen sa-ma papa. Papa u-dah gak sa-sayang sama aku la-gi ya?" Rise mengeluarkan unek-uneknya yang ada dipikirinnya tersebut. Ia mengucapkannya terputus karena sesenggukkan belum bisa reda.

"Kok anak papa bilang gitu sih. Emang yang bilang gitu sama Rise siapa? Akan papa hajar orang yang bilang gitu sama kamu." Sebastian masih setia memeluk putri kecilnya, menepuk pelan punggungnya berharap tangisannya akan reda. Tetapi yang ia dengar, malah tangisan Rise semakin keras membuatnya ia sedikit kewalahan menenangkan Rise. "Udah ya jangan nangis lagi ya? Putri papa kan sudah besar bukan anak kecil lagi, kok sampai sekarang masih nangis." Sebastian berniat menggoda putrinya itu dan tangisan Rise sudah mulai reda, tinggal sesenggukkannya masih terdengar.

"Ih papa kok gi-tu sih. Udah ta-tahu Rise kangen sama papa kok papa bi-lang gitu." 

Bukannya menenangkan Rise, justru suara tertawa menggelegar dari Sebastian, "HAHAHAHAHAHA" Rise pun hanya membalas papanya dengan tatapan sebal.

enough (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang