3 - Matsumura Tomoya

554 43 20
                                    

kali ini, yuk sejenak berimajinasi menjadi anak SD :"D
oh iya, sebelumnya terima kasih untuk satu oknum yang sudah membantu berkonspirasi untuk pembuatan chapter ini. hai haai, miss X (?), thank you so muuuch :3

Kau mengetuk-ngetukkan pensil di atas meja, menganalisis angka-angka yang di matamu hanya bertebaran acak, lalu atensimu kembali teralih. Satu sosok di hadapanmu tengah sibuk menulis, sesekali berkedip dan naik-turunnya bulu mata lelaki itu membuatmu tersenyum tipis. Hal sekecil itu saja bahkan bisa menjadi pendistraksi di tengah-tengah PR yang menumpuk. Ah, Tomoya. Rasanya kau ingin mengutuknya setelah membuatmu merasakan hal yang mungkin belum pantas kaurasakan.

"Jadi ... kau sudah mengerjakan nomor tiga?"

Suaranya mengembalikanmu ke dunia nyata. Kau tersenyum geli mendengar suaranya yang entah mengapa kadang ingin kautertawakan. Usia kalian sama, dan meski dengan suara yang terdengar beberapa tahun di atasmu itu, kau masih bisa menemukan berbagai sisi menggemaskan dari Tomoya.

"Eh? Maaf, aku ketinggalan." Kau lekas-lekas menjawab setelah beberapa detik mulai berdelusi lagi. Sampai nomor berapa tadi?

"Memangnya ada yang sulit, ya?"

"Uhm ... iya." Kau beralasan, padahal kau bahkan lupa soalnya tentang apa. Tomoya menghela napas, namun raut wajahnya masih terlihat seperti laki-laki paling mulia sedunia. Kau tersenyum-senyum sendiri lagi. Semoga Tomoya tak menganggapmu orang gila.

Tiba-tiba Tomoya berdiri, kemudian berpindah tempat ke sebelahmu. Kau berjengit dan refleks bergeser begitu lengan kalian bersentuhan. Tomoya mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Tidak, tidak." Kau berusaha memusatkan fokus pada buku PR. Yah, mana Tomoya mengerti. Pasti Tomoya berpikir hal seperti ini legal-legal saja karena kalian sudah saling mengenal sejak kecil, dan kebetulan selalu sekelas.

"Jadi ... mana yang sulit?" Kau berjengit, betapa mengejutkannya tingkah Tomoya. Tidakkah lelaki itu merasa aneh dengan posisi kalian?

Oh... Iya. Tomoya mana paham, kau pun kenapa paham?

"Um.. Ini." Kau menunjuk asal soal. Lagi pula kau memang lupa yang mana. Kau amati wajah Tomoya yang mengernyit bingung.


".... Bukannya ini kita bahas tiga menit lalu, ya?"

".... Eh?" kau mengerjap. Matilah, umpatmu dalam hati. Sebegitu tidak fokuskah dirimu karena mengamati wajah Tomoya? Belum sempat kau menggeleng salah, sensasi aneh kau rasakan.

"Sebenarnya kau bosan atau apa? Kenapa sudah lupa? Apa kau lapar?"

Kau membeku. Pensil Tomoya menyentuh-nyentuh pipimu gemas. Wajah Tomoya terlihat bingung akan tingkahmu, maka ia melanjutkan kegiatannya-menyodokkan pensilnya ke arah pipimu.


Kriet...

"Tomoya! Ayo kita ma-"

"..." Kau menengok. Tomoya menengok. Pensil Tomoya masih di pipimu. Dan di sana berdiri Koki, tetangga Tomoya yang tengil dan terkenal paling jahil sekompleks perumahan. Mungkin calon preman masa depan.

"-in. WAHAHAHA! Ada yang berpacaran, wahhh wahhhh!! Maaf mengganggu waktu kalian!" Pintu dibanting, Koki pergi. Dan kalian berdua diam membeku.

Wajah merah padam, sungguh, kau malu! Spontan, Tomoya melepaskan pensilnya hingga jatuh. Mengambilnya ke bawah meja, lalu kepala terantuk meja saking paniknya. Kemudian berpindah tempat ke posisi semula di seberangmu.

"...."

Tik tok.

Hening. Di antara kalian hanya terdengar gesekan pensil dan detik jam. Wajah merah Tomoya samar menghilang. Tapi kau seperti cacing kepanasan. Uh..uh...itu tadi memalukan sekali!

Kau memaki Koki dalam hati. Walau tahu, di umurmu yang masih terbilang kecil tak pantas berbicara begitu.

"Umm ... jadi yang ini dikalikan dengan yang ini?" kau berusaha mencairkan suasana. Tomoya menjawab tanpa menoleh. "Iya."

Kau tertegun. Memangnya Tomoya tahu kau menanyakan yang mana? Menoleh saja tidak. Kau pun melanjutkan menulis dengan canggung, dan berbagai perasaan berkecamuk dalam dada. Apakah Tomoya marah? Apakah kau melakukan hal yang salah? Ah, ini semua gara-gara Koki. Koki memang sering membuat masalah dan kalian tidak pernah akur. Tapi kalau masalahnya sudah berhubungan dengan Tomoya begini, rasanya berkelahi dengan Koki di lapangan sebelah boleh juga.

"Jadi ... PR-nya hanya yang halaman ini, 'kan?" kau bertanya lagi, takut-takut. Lagi-lagi Tomoya merepetisi jawaban yang sama,"Iya."


Kau pun menutup bukumu, membereskan lembar-lembar coretan yang bertebaran, lalu berdiri. "Kalau begitu aku pulang dulu, ya?" Padahal masih ada beberapa nomor yang tidak bisa kau kerjakan, dan jauh dalam hatimu kau yakin seharusnya Tomoya bisa.

"Iya."

"..." Lagipula, kau yakin Tomoya pasti marah padamu. Menoleh saja enggan, apalagi jawabannya tadi sama dengan yang sebelumnya. Maka dengan langkah berat kau pergi meninggalkan Tomoya. Jujur saja, kau kesal kalau Tomoya mendiamimu hanya karena Koki.

Tanaka Koki, esok lusa, ayo kita bertemu di lapangan sebelah. Mari berkelahi atas dasar sakit hati.



Diam-diam, kau memnuat agenda dalam hati. Ah..jadi yang tadi itu sakit hati, ya? Berapa umurmu? Kenapa sudah mengerti hal begitu? Lama berpikir, kau telah tiba di depan pintu rumah Tomoya. Menyipit, ini TKP di mana Koki menjadi tersangka utama. Ah ... kau harus melewatinya juga.

Tik tok.

Lagi, suasana hening menyelimuti. Kau di sisi luar pintu, dan Tomoya di sisi dalam pintu. Berdiri saling menghadap namun menunduk kaku. Harusnya kau tahu, berharap Tomoya mengantarmu sampai rumah pun mustahil.


"Kalau begitu ... aku pulang. Terima kasih untuk hari ini." Kau berbalik pergi, sebelum suara Tomoya menghadangmu.

"...aku minta maaf."

Tersentak, kau berbalik cepat. Apa? Tadi Tomoya bilang apa? Ulangi!

"Ma-maaf? Untuk apa?"

"Mendiamimu? Kurasa kau merasa tidak nyaman, ya? Kurang sopan juga. Tapi tadi, aku hanya tidak tau harus apa. Maksudnya lebih ke arah, tidak bisa berkata-kata." Tomoya melirik-lirik vas bunga gelisah. Khawatir bahwa nyatanya dirimu berbalik marah padanya.


Namun tidak, kau malah terkikik. Tertawa lepas seakan Tomoya barusan melawak. Dan sukses membuat Tomoya mengeryit tak paham. Anak ini polos atau apa, 'sih? batinmu geli.

"Kenapa? Aku salah bicara, ya?"

"A-ah..tidak. Aku hanya merasa geli. Maafkan aku juga, Tomoya-kun. Harusnya aku juga berusaha..um..ya begitulah. Dan sebenarnya lagi, masih ada beberapa soal yang belum kutanyakan padamu. Hehe." Kau menggaruk pipimu malu-malu. Kakimu bergerak liar tanda resah. Ini situasi macam apa?!

"Begitukah? Ah, maaf. Pasti kau tidak betah karenaku. Tapi, kenapa kau tidak bisa konsentrasi dari tadi? Kau benar sedang lapar?" Ini momen paling kau takuti. Tomoya dengan pensilnya yang kembali beraksi. Menyodok pipimu dengan gemas namun ekspresi Tomoya bingung akan kelakuanmu. Adakah yang lebih menggemaskan dari ini?

Spontan, kau merah padam. Tak kuasa menahan malu.


"Eh? Hei! Apa kau sakit? Wajahmu merah. Sudah kuduga kau butuh makan, ayo kemari. Aku akan telepon bibi." Tipikal Tomoya, tak paham akan hal-hal seperti ini, dan menganggapnha hal lain. Dan katanya dia akan menelepon ibumu.

Seharian itu, kau dipaksa Tomoya makan bubur buatannya yang kurang berbentuk dan minum obat entah apa itu dengan segala cara.



End.

Sampai jumpa di kencan berikutnya!

Kitto, Mata Aeru KaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang