"Bang, nggak usah mondar-mandir kayak gitu terus, deh. Nutupin TV aja!"
Dengan gontai gue berjalan mendekat ke arah Yasmin yang duduk bersila di atas sofa dengan remot TV di tangannya.
"Yas," panggil gue. "Gue mau nanya, dong."
"Hm."
"Misalnya lo baru kenalan gitu sama orang dan orang itu bikin lo penasaran banget sama dia. Kayak, kenapa dia itu penyendiri banget, kenapa dia suka novel misteri, kenapa—"
"Nggak usah bawa-bawa gue deh bilang aja kalau ini tentang lo."
Gue melemparkan pandangan whatever ke Yasmin. "Terus, orang yang bikin lo penasaran ini ngilang gitu aja. Kira-kira lo bakal nelpon dia nggak buat nanya keadaannya?"
"Ngapain mikirin orang yang nggak ada sekarang? Kecuali kalau orang itu emang berarti buat lo," Yasmin tersenyum ambigu. "Lo mau nelpon siapa sih emangnya?"
"Bukan gue, kok," kata gue menyangkal. Bohong sedikit nggak apa-apa, kan? Nggak menyakiti orang lain gini. Gue juga bingung kenapa mesti bohong. Bodo, ah.
"Gengsi, yaaa?"
Gue cuma memutar mata.
Setelah itu gue melipir masuk ke dalam kamar dan mencabut charger hape gue dari stop kontak. Jempol kanan gue udah siap menekan tombol warna hijau yang akan langsung tersambung kepada nomor yang dituju. Nomor Tatyana, maksudnya.
Karena udah nggak tahan lagi, gue pun memencet tombol tersebut dan menempelkan hape gue ke telinga sementara tangan kanan gue mengepal kuat-kuat. Kalau sampe nggak dijawab... kalau sampe nggak dijawab... gue mending gantung diri aja.
"Ferdi?" Tanpa gue sangka-sangka, Tatyana menjawab telepon gue pada detik kelima. Tapi tunggu... Ferdi?
"Halo, ini gue Gavin."
"Oh, Gavin," Terdengar nada kecewa dalam suaranya. "Ada perlu apa kamu nelpon saya?"
"Well, lo nggak bales SMS gue. Gue takutnya lo kenapa-napa."
"Perasaan, kemarin udah saya bales?"
Gue mengernyit, "Tapi nggak ada SMS masuk dari lo di hape gue."
"Astaga! Kayaknya belum ke-send, deh..."
Tatyana sukses membuat gue kehabisan kata-kata. Belum ke-send katanya? BELUM KE-SEND? Rasanya gue mau gantung diri aja sekarang.
"Gavin, masih di sana?" tanyanya.
"Mm," gumam gue kecil, seketika terserang rasa bete. "Kenapa kemarin lo nggak ke halte?"
"Eh, kok tahu?"
Gue menelan ludah. Goblok! Pasti Tatyana pikir gue nyariin dia, deh. Ah, kepalang tanggung. BIar aja dia mikir kayak gitu, nggak ada ruginya gini buat gue.
"Kemarin gue ke sana nyariin lo tapi lo nggak dateng-dateng."
"Kamu mau ketemu sama saya?"
"Nggak gitu juga, sih..." ucap gue ragu.
"Oh... nggak pengin ketemu sama saya?"
Sontak, alis gue terangkat naik. Kenapa gue jadi dijebak kayak gini sama pertanyaan si Tatyana ini? Gue menarik napas, "Hari ini lo bakal ke halte lagi nggak?"
"Enggak kayaknya," Jeda yang cukup lama, Tatyana kembali berkata, "Kamu pernah jatuh cinta, kan?"
Pertanyaan yang dia ajukan barusan amat sangat membuat gue keheranan sendiri. Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu coba?
"Nggak. Belum pernah tepatnya," jawab gue.
Gue mendengar Tatyana terkesiap. "Oh?"
"Not even once," kata gue sambil mendesah.
"Kalau begitu... kira-kira, menurut kamu, jatuh cinta itu rasanya kayak apa?"
Pertanyaan aneh lainnya.
Tadinya gue ingin menjawab, 'Mungkin berjuta-juta rasanya' tapi itu terdengar seperti lirik lagu jadi, gue berucap dengan enteng, "It must be a great feeling."
"Great feeling," Giliran Tatyana yang mendesah. "Tapi kenapa saya nggak merasakannya, ya?"
Gue nggak menanggapi perkataannya. Kalau lo jadi gue, lo akan berkata apa pada Tatyana? Apakah lo akan menyemangatinya dan bilang, 'Perasaan lo aja kali!' atau malah berkata, 'Gue nggak tahu juga ya soalnya bukan gue yang ngerasain'?
Hmm, jadi Tatyana udah punya pacar, eh, orang yang dia suka? Apa si Ferdi yang dia sebut pas mengangkat telepon dari gue tadi? Sebel gini gue jadinya.
Gue menyadari bahwa bahan pembicaraan kami udah habis. Akhirnya gue berucap, "Lo lagi nungguin telpon dari temen lo, ya?"
"Eh, kok tahu?"
"Tadi lo nyebut-nyebut nama Ferdi gitu," jawab gue. "Yaudah deh gue tutup aja kali, ya. Siapa tahu temen lo dari tadi udah nelponin lo dan nggak nyambung-nyambung gara-gara lo lagi telponan sama gue."
Tatyana tertawa.
"Tapi lain kali, gue masih boleh nelpon lo, kan?"
"Sure, it was fun talking to you."
Gue tersenyum, "Take care."
Pernah ngerasain yang namanya kangen? Apa mungkin, emang setiap hari lo merasa kangen dengan seseorang?
Saat ini, barusan, setelah gue memutuskan sambungan telepon dengannya, gue langsung merasa kangen sama dia.
"Ingin berkata selamat tinggal tapi tak bisa,
ingin memintanya untuk tetap tinggal tapi tertahan..."
—Gavin Aryadinata (1.5.14)
KAMU SEDANG MEMBACA
First Time
Teen FictionRupanya sampai pada umurnya yang ke-21 tahun ini, Gavin Aryadinata belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta! Jatuh cinta saja belum pernah apalagi memiliki cinta pertama yang (katanya) paling cepat untuk dilepaskan tapi juga paling sulit untu...