First Interest

15.9K 1.1K 83
                                        

Masih seputar hujan, tapi kali ini gue nggak lupa untuk bawa payung dari rumah.

Rasa dingin emang membuat perut kita cepat lapar. Akhirnya, berbekal duit tiga ribu—kembalian makan siang tadi—yang ada di saku celana jins gue yang udah belel, gue membeli beberapa macam gorengan yang dijual deket halte.

Sambil menunggu gorengan gue selesai digoreng, gue mendongak dan menatap rintik air yang menghantam-hantam payung merah yang gue pakai. Ah... gue jadi inget cerita Gadis Berpayung Merah yang cukup populer pas gue masih SMA dulu.

Mau denger? Mau lah, ya.

Jadi konon ceritanya, dulu ada perempuan yang meninggal saat komfoi perayaan kelulusan dikarenakan hujan dan kondisi jalan pada saat itu sangatlah licin. Dan katanya sebelum perempuan itu meninggal, dia berpesan agar jenazahnya diarak keliling sekolah. Pas jenazahnya diarak, waktu itu juga lagi hujan.

Timbullah mitos-mitos yang entah benar atau enggak karena gue belum pernah melihat dengan mata kepala gue sendiri (syukurlah!) bahwa pada saat hujan turun atau gerimis, sering muncul penampakan Gadis Berpayung Merah yang orang-orang anggap sebagai arwah gentayangan dari perempuan itu. Gadis Berpayung Merah itu bakalan dateng dari TPS yang ada di belakang gedung sekolah, lalu dia akan mengelilingi setengah areal sekolah dengan kepala tertunduk sebelum menghilang keluar dari gerbang sekolah.

Bulu kuduk gue jadi merinding apalagi pas diceritain temen gue yang "bisa ngeliat" dan pernah melihat Gadis Berpayung Merah itu sama salah seorang temennya juga. Bodohnya, dia mengaku dia sempat menegurnya, jelas aja nggak ditanggepin dan perempuan itu langsung menghilang. Mungkin saat itu temen gue yang "bisa ngeliat" itu belum pernah denger wejangan dari senior-senior kami yang menyarankan agar nggak menyapanya kalau secara nggak sengaja "ketemu".

Duh, kenapa gue jadi cerita horor begini? Sampe-sampe Ibu Penjual Gorengan berkali-kali menyolek tangan gue supaya cepat-cepat membayar gorengan gue yang udah selesai digoreng karena masih banyak pelanggannya yang mengantri. Jadi... malu.

Gue mengambil satu pisang goreng dan memakannya sembari berjalan menuju halte. Gue celingak-celinguk mencari tempat duduk yang masih kosong. Sore ini nggak seramai sore kemarin, maksud gue, orang yang berteduh maupun orang yang menunggu bus di halte. Cuma ada segelintir orang yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan gue dan mengingat jari tangan kanan gue lengkap semua berjumlah lima, segitulah banyaknya orang yang bernaung di halte ini sekarang.

Setelah memastikan payung gue nggak akan diambil orang usil dengan meletakannya di hadapan gue, duduklah gue di sebelah cewek yang sepertinya ketiduran dan kepalanya bersandar ke tiang. Mata gue beralih menatap beanie warna ungu yang tergeletak di bawah kakinya. Mungkin punyanya, pikir gue. Karena nggak mau dianggep udah menganggu tidurnya, gue pun membersihkan beanie itu dari debu-debu yang menempel dan menaruhnya di pangkuan cewek itu. Belum sempat gue menarik tangan gue, cewek itu tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar dan menatap gue sangar.

"E-eh, itu... itu... beanie lo tadi jatoh," kata gue membela diri. Takutnya gue dituduh berbuat yang bukan-bukan padanya  lalu dia teriak dan matilah gue dipukuli massa.

Cewek itu mengerjapkan matanya dan menguap kecil, "Kita pernah ketemu, kan?"

Gue mengernyitkan dahi. Oh, ya? Kapan gue ketemu cewek ini? Sebentar, rasanya suara cewek ini cukup familier... oh, gue inget! Cewek yang beberapa hari lalu memanggil gue Mas-Mas. Gue langsung tersenyum karena berhasil mengingatnya.

"Iya, tempo hari kita pernah ketemu di halte ini juga," sahut gue. Dalam hati gue bertanya-tanya ke mana sajakah cewek ini karena dia baru muncul sekarang. Tapi, toh bukan urusan gue juga. Peduli amat.

"Ah, apa kabar?" tanyanya ramah. Kelewat ramah malahan. Gue tersenyum kikuk.

"B-baik," Sial, kenapa gue jadi gagap begini.

Cewek itu manggut-manggut. Gue mengulurkan kantung plastik hitam berisi gorengan yang gue beli tadi kepadanya.

"Mau?"

Di luar dugaan gue, dia menerimanya dengan senang hati. Bukan cuma satu aja, tapi dia merebut plastiknya juga dari tangan gue dan makan gorengan gue sendirian. Ya ampun, gue yang beli aja baru makan satu doang!

"Mau?"

Gue melirik cewek ini kesal sambil menggeleng acuh. Dia mengangkat bahunya.

"Saya belom makan dari tadi pagi," katanya curhat. Gue pun merasa sedikit iba, akhirnya gue coba merelakan gorengan yang sekarang menjadi hak miliknya.

"Kenapa?" tanya gue heran.

"Kabur dari rumah," jawabnya sambil tertawa. Gue melotot kaget. Dia nggak terlihat kayak orang yang abis kabur. Bawa koper juga enggak, cuma tas ransel kecil yang ada di punggungnya itu. Eh, emangnya orang yang kabur itu penampilannya bagaimana, ya?

Gue pikir dia bercanda tapi melihat wajahnya yang serius waktu mengatakannya, mau nggak mau gue jadi percaya.

"Kenapa kabur?" tanya gue lagi.

"Gitulah," ujarnya sambil mendesah. Gue mendengus. Gitulah apanya? Gue aja nggak tahu apa yang dia omongin.

"Terus sekarang lo tinggal di mana?" Gue pasti kedengerannya kepo banget. Masa bodo, deh.

Cewek itu menghiraukan gue, matanya terpaku melihat bus 105 yang baru datang. Gue menatap cewek itu dan bus 105 gue bergantian, apa yang dia cari?

"Gue duluan, ya," ucap gue yang lagi-lagi diabaikan olehnya. Gue mencibir sambil mengambil payung merah gue, melipatnya, dan memasukannya ke dalam tas.

Dan seiring dengan bus 105 yang gue tumpangi melaju, cewek itu pun mengenakan beanie-nya dan meninggalkan halte bus dengan langkah gontai sambil membawa kantung plastik hitam yang berisi gorengan itu. Rasa penasaran gue terhadapnya bukannya surut malah semakin menjadi-jadi. Gue mengeluarkan hape gue dan mulai memencet-mencet tombol keypad.

"Rasanya pengin banget nyamperin dia lagi

dan mastiin dia baik-baik aja..." 

—Gavin Aryadinata (12.19.13)

First TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang