"Udah nunggu lama?" Tatyana meletakkan tasnya di tempat kosong di sebelahnya kemudian merapikan poninya yang menurut gue udah cukup rapi buat diberantakin lagi. "Maaf ya, sebelum ke sini aku lagi nyelesain urusan lain."
"Selow, pesen aja dulu. Mau apa, jus atau kopi? Sekalian makan juga, ya. Biar gue yang pesenin."
"Hmm," Tatyana menempelkan jarinya ke bibirnya. "Aku mau sop iga sama teh anget, deh."
Sebelum lo bertanya-tanya lebih lanjut, iya, tempo hari gue sudah meminta Tatyana untuk berhenti ber-saya-kamu ke gue. Geli banget gue dengernya. Lagian, gua dan dia kan sudah berteman, jadi gue menginginkan nggak ada lagi benteng tinggi yang jadi pertahanannya selama ini yang terus menganggap gue ini orang asing. Gue mau berteman dengannya, itu aja. Nggak pake embel-embel formal. Sejak saat itulah dia mulai ber-aku-kamu ke gue. Seenggaknya itu lebih nyantai dan nggak kaku-kaku amat kayak orang bule baru belajar bahasa Indonesia.
Atau mungkin Tatyana ini memang bule atau sebelumnya dia pernah tinggal lama di luar negeri? Nanti gue tanyain deh ke orangnya.
Oh, ya, dan satu hal lagi. Gue dan Tatyana memang sudah beberapa kali ini jalan berdua sejak acara telponan perdana gue dua-tiga minggu yang lalu.
Selepas pelayan yang mencatat pesanan Tatyana pergi, gue mulai menggoda cewek itu, "Tumben minum teh anget? Biasanya aja minum kopi sampe dua gelas gede."
"Yah, kan mumpung lagi ujan," cibirnya.
"Lo abis dari mana sih emangnya?" Tiap diajakin ketemuan pasti ngaret, lanjut gue dalam hati. Tapi memang benar begitu adanya. Gue nggak habis pikir apa sih yang dilakuin cewek ini sampai-sampai gue selalu harus menunggu dia tiba lebih dari lima belas menit dari waktu yang kami sudah sepakati.
"Abis dari suatu tempat."
"Suatu tempat?"
"Ng... dari kantor polisi."
"Lo abis dari kantor polisi?" Oke, gue terdengar seperti tape recorder sekarang.
"Iya."
"Ada masalah apa?" tanya gue cukup berhati-hati. Jangan bilang kalau Tatyana, cewek halte yang sudah gue kenal selama sebulan lebih ini termasuk anggota geng motor yang brutal atau bahkan musuh anak bos mafia besar?
Ah, Gavin. Lo, dan imajinasi liar lo.
Tatyana mengembuskan napas berat, "Kamu lupa, ya? Aku kan udah pernah cerita ke kamu beberapa hari yang lalu."
"Ah, masa? Kok, gue bisa lupa?"
Tatyana memutar matanya, "Mana kutahu?"
"Ah, enggak. Kayaknya lo emang belom pernah cerita ke gue, deh," kata gue sengit. Gue ini termasuk orang dengan kapasitas ingatan yang unlimited dan nggak gampang lupa akan suatu hal atau kejadian. Dan gue yakin sekian persen kalau Tatyana belum pernah bercerita soal masalahnya atau apapun yang sedang mengganggu pikirannya saat ini.
"Ih, aku udah cerita ke kamu lho, Vin. Masa kamu lupa, sih? Jangan-jangan kamu nggak ngedengerin aku ya waktu itu?" Tatyana memberengut. Dia memasang wajah kesal yang justru menurut gue super manis.
Otak gue sudah bergeser sedikit sepertinya.
"Inget nggak pas kita lagi makan siang terus Ferdi nelpon dan dengan buru-buru ngejemput aku? Malemnya kan aku langsung cerita ke kamu soal apa yang terjadi waktu itu."
Gue mendesis, "Hold on... maksud lo, ini menyangkut si Ferdi itu juga?"
"Kamu beneran lupa?"
"Err... enggak," kata gue sambil menggaruk-garuk tengkuk gue yang sebenarnya nggak gatal.
"Nggak inget atau nggak lupa?" tanya Tatyana galak.
"Nggak salah lagi," kata gue acuh. "Tapi lo nggak lagi dikejar-kejar hutang kan sampai harus berurusan sama polisi?"
Tatyana mendesah keras lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kok, lama banget sih, Mas?" omelnya pada pelayan yang mengantarkan makanan pesanannya.
Yang Tatyana nggak ketahui, pada saat mulutnya berbusa menceritakan perihal masalahnya yang juga terkait dengan temannya atau kerabat atau siapapun si Ferdi itu, sepertinya gue nggak menyimaknya dengan baik. Sebab waktu itu kepala gue bener-bener panas, mengingat siangnya dengan beraninya Ferdi menculik Tatyana ketika cewek itu masih bersama dengan gue.
Aha, gue tahu apa yang ada di pikiran lo sekarang. Pikiran gue juga, sih. Kenapa juga gue mesti cemburu sama si Ferdi itu? Apa mungkin ini pertanda jatuh cinta?
Yah, barangkali Tuhan memang menitipkan cinta gue pada Tatyana. Haha, mudah-mudahan saja benar begitu. Dan semoga saja perasaan itu mendapatkan timbal baliknya juga.
Ah, Gavin. Lo, dan harapan lo yang hampir menyerupai ketidakmungkinan yang pasti.
Ngomong-ngomong, agaknya gue bakal dikacangin sama Tatyana sampai minggu depan.
"Sebelum perasaan ini menjadi cinta yang terlalu,
gue harap lo masih available pada saat itu..."
—Gavin Aryadinata (2.2.14)
KAMU SEDANG MEMBACA
First Time
Teen FictionRupanya sampai pada umurnya yang ke-21 tahun ini, Gavin Aryadinata belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta! Jatuh cinta saja belum pernah apalagi memiliki cinta pertama yang (katanya) paling cepat untuk dilepaskan tapi juga paling sulit untu...