Sial, gue nggak bawa payung.
Itu adalah yang ada di pikiran gue waktu keluar dari kampus dan melihat di luar sudah hujan dengan sangat deras. Yah, akhir-akhir ini emang musim penghujan. Dan nggak bawa payung sama sekali itu akan jadi bener-bener nyebelin. Apalagi setelah belasan jam lo habisin buat kerja atau sekolah dan lo mesti harus menerobos hujan juga tanpa pake payung. Entah itu dengan barang lain, atau lo emang kepengin hujan-hujanan aja.
Dan, gue memilih yang terakhir.
Sebenernya gue punya mobil yang walaupun brand-nya nggak terkenal, tapi mobil yang udah nemenin gue selama kurang lebih seperempat umur gue itu bener-bener irit bahan bakarnya. Ah, tapi bukan itu yang mau gue bilang. Melainkan, mobil itu sekarang ada di bengkel karena mesinnya ada yang rusak.
Oleh karena itulah, gue harus naik taksi atau naik bus. Dan karena rumah gue nggak jauh-jauh amat dari kampus, gue memilih untuk naik bus aja. Huh, ini baru tengah bulan dan ngeluarin duit cuma buat bayar ongkos taksi itu rasanya nggak rela banget.
Sambil menunggu bus nomor 105 datang, gue mengelap peluh yang bercampur dengan air hujan di pelipis. Gue mendesah panjang sambil melihat ke kerumunan orang yang terbirit-birit menepi ke gedung pertokoan atau bahkan berteduh di halte ini.
Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk di hape gue.
Bunda: bang, bunda lagi diluar bawa adek ke dokter, panas tuh badannya. kamu nunggu di rumah rama dulu aja jam 6 bunda udah pulang kok.
Gue mendengus setelah mengecek pukul berapakah sekarang ini. Baru jam empat sore lebih dikit. Padahal gue berniat bikin Indomie rebus lalu tidur di kamar sampe besok pagi karena hujan adalah momen yang pas untuk makan Indomie dan tidur sepuasnya. Yah, mikir aja. Siapa, sih, yang nggak suka hujan? Tapi nyatanya, niat itu harus diurungkan terlebih dahulu.
Dan pas gue lagi asik-asiknya memandangi rintik-rintik hujan yang berjatuhan ke tanah, orang di samping gue bersuara, "Suka hujan ya, Mas?"
Gue menoleh dan mendapati seorang cewek berjaket tebal yang gue nggak bisa perkirakan berapa umurnya, tersenyum ke arah gue. Gue menggaruk-garuk kepala dan menjawab, "Ya."
Oh, man, penting banget pertanyaannya. Dia nggak tahu apa kalau gue lagi males ngomong? Rasanya lidah gue jadi kelu abis presentasi makalah tadi. Udah ngomong panjang lebar, tapi dosennya malah nyuruh gue ngulang apa yang gue jelasin. Gila emang. Dia, kan, yang salah karena nggak merhatiin pas gue menjelaskan, masa gue yang menebus kesalahan dia dengan mengikuti apa yang dia suruh? Tapi, apa gue punya pilihan lain? Kalau nggak ngikutin perintah dia, yah, nama gue bisa dicoret dari kelas mata kuliah yang dia ajar.
"Tadi hujan-hujanan ya, Mas?" tanyanya lagi. Gue mengusap leher dengan risih. Risih karena dipanggil 'Mas-Mas' melulu dari tadi.
"Hm."
"Nggak takut masuk angin apa?"
Alis gue terangkat satu. Kenapa cewek ini jadi sok mencemaskan keadaan gue kayak gitu?
Cewek itu memeluk tubuhnya sendiri. "Hujan kan nggak enak. Bikin susah. Gerak-gerik kita jadi terbatas karena kalau nggak mau kehujanan, ya, harus punya payung. Tapi kalau nggak punya? Terpaksa ngandalin koran. Nah, abis itu? Kena flu, masuk angin, bahkan demam."
Gue mendecih, "Sakitnya kan cuma sementara, nggak selamanya. Jadi, ngapain takut?"
"Entahlah. Menurut saya sih, terlalu nyaman dan terpaku pada suatu hal itu nggak baik," kata cewek itu diplomatis.
"Jadi, menurut lo manusia nggak boleh memiliki yang namanya perasaan nyaman?" tanya gue sengit. Ini cewek kayak ngajak berantem. Semua orang kan, punya pemikiran sendiri-sendiri, tapi dia ngomong kayak yang dia omongin itu udah paling bener aja.
"Nggak juga. Tapi, ketika hal yang membuat rasa nyaman itu hilang, apakah kamu benar-benar akan merelakannya?"
Gue manggut-manggut mengerti. Boleh juga kalimat sentilannya itu. I'm going to write that one on my next post, pikir gue.
"Emangnya, rasa nyaman seperti apa yang menurut lo pantang buat dirasain?"
Dia tidak merespons. Dan gue baru sadar kalau hujannya udah berhenti dan bus 105 yang akan gue tumpangi udah sampai di halte ini. Tanpa salam perpisahan, gue meninggalkan cewek itu di halte. Dia masih melamun, mungkin memikirkan pertanyaan gue tadi. Ah, dimasukin ke hati banget.
Saat bus sudah melaju, suara cewek itu masih berdengung di telinga gue. Suara dia ketika pertama kali menegur gue. Gue menoleh ke belakang untuk melihatnya yang terakhir kalinya. Cewek itu ternyata meninggalkan halte bus itu dengan berjalan kaki. Oh, apa tadi dia cuma berteduh?
Gue mengedikkan bahu sambil merogoh hape di kantung kemeja gue dan mulai membuka aplikasi Tumblr untuk membuat sebuah post baru.
"Jangan pernah buat seseorang menjadi bagian terpenting dalam hidup lo
karena waktu mereka pergi,
lo nggak bakalan punya apa-apa lagi..."
—Gavin Aryadinata (12.15.13)

KAMU SEDANG MEMBACA
First Time
Novela JuvenilRupanya sampai pada umurnya yang ke-21 tahun ini, Gavin Aryadinata belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta! Jatuh cinta saja belum pernah apalagi memiliki cinta pertama yang (katanya) paling cepat untuk dilepaskan tapi juga paling sulit untu...