First Name

14.1K 1.1K 78
                                    

Nggak. Kali ini gue nggak lagi ujan-ujanan, beli gorengan, megang payung, atau nunggu bus di halte. Karena hari ini gue nggak ada kuliah jadi gue memutuskan untuk ngopi di Starbucks sama adek gue, Yasmin. Kami baru beli bunga mawar warna merah muda berjumlah tujuh tangkai buat diberikan kepada Bunda kami tercinta. Kenapa tujuh tangkai? Duitnya cuman cukup buat beli tujuh tangkai mawar tanpa bunga hiasnya. Lagi pula, berapa banyak tangkai nggak mewakili besarnya rasa sayang kami ke Bunda, kok (halah, bahasa gue). Alasan selanjutnya, hari ini adalah Hari Ibu di Indonesia.

Tapi gue kadang kesel baca tweets-tweets orang yang bilang, "Mentang-mentang hari ibu aja pada beli bunga dan bilang sayang ke emaknya. Kemane aje lu tong selama ini?" Entahlah, nyebelin aja. Seakan-akan kalau ada yang ngerayain Hari Ibu pada tanggal 22 Desember itu salah besar. Antipati banget. Gue juga sayang nyokap gue kok setiap hari, tapi emang lo perlu tahu itu? Apa gue mesti ngerekam video bilang sayang ke nyokap gue setiap hari dan post ke YouTube supaya seluruh dunia tahu bahwa Hari Ibu bagi gue itu setiap hari? Nggak. Cuman gue dan Tuhan aja yang perlu tahu betapa berartinya nyokap bagi gue. Jadi, daripada meracau nggak jelas di Twitter, mending lo belajar yang bener biar bisa banggain kedua orang tua lo.

Yaudahlah ya, nggak usah dibahas lagi.

Gue menyesap caffè latte yang tinggal setengah dan berkata, "Yas, lo masih sama si Ical itu nggak, sih? Kok gue nggak pernah ngeliat dia main ke rumah lagi?"

Yasmin mengangkat wajahnya dari laptop jinjing kesayangannya yang dia pakai untuk berselancar di internet. Dia mendesah, "Nggak Bunda, nggak elo, semuanya nyariin Ical. Dia udah gue lempar. Ke laut."

Gue tersentak, "Putus, tah?"

Yasmin mengangguk lesu, "Capek gue sama dia, makan hati mulu."

"Dari kapan?"

"Udah dua minggu. Lo sih, Bang, nginep di rumah Rama terus jadi ketinggalan berita," sungut Yasmin.

"Gara-gara apa, sih? Perasaan adem-ayem terus kalian kelihatannya."

Yasmin mendecak, "Dia sibuk sama bimbel dan les lainnya. Gue ngerti dia udah kelas 12 dan fokusnya susah untuk dibagi-bagi, tapi masa dua bulan penuh kita nggak pernah telponan apalagi jalan? Di BBM juga balesnya irit banget."

Gue melipat kedua tangan gue di dada, "Jangan mau enaknya doang geh, Yas. Coba ngertiin dia yang lagi fokus ke pendidikannya dulu."

"Lo kira selama ini gue ngapain? Gue udah cukup ngertiin dia, kok. Tapi, apa gunanya dilanjutin kalau dia-nya aja nggak mau saling ngerti?" oceh Yasmin. Dia menatap gue dengan pandangan tak suka. "Makanya cari pacar, Bang. Biar lo bisa ngerasain juga yang namanya pahit-manisnya pacaran."

Gue memutar mata. Dikira gampang apa cari pacar? Tapi kalau dipikir-pikir, omongan Yasmin ada benernya juga. Oh, bukan soal cari pacar, melainkan soal 'Apa gunanya dilanjutin kalau dia-nya aja nggak mau saling ngerti?' Titik fokusnya ada di kata saling ngerti itu. Ya, kalau saling cinta, kenapa harus ribet? Kenapa nggak dipermudah aja? Salah si Ical juga, masa ngediemin adek gue yang notabene waktu itu masih jadi pacarnya? Dua bulan pula. Wah, emang cari ribut itu anak. Awas aja kalau ketemu.

"Pulang, yuk. Mau maghrib," kata gue mengajak Yasmin beres-beres dan keluar dari Starbucks.

"Bang, mobil lo kapan jadi, sih?" tanya Yasmin saat gue melambaikan tangan gue untuk menyetop taksi yang lewat.

"Besok kayaknya."

"Kalau skripsi lo?"

Gue melirik tajam ke arah Yasmin, "Sialan lo."

Yasmin malah nyengir kuda, jarinya membentuk huruf 'V'. Waktu gue menoleh ke samping, gue melihat dari jauh ada seorang cewek berjalan tertunduk. Perlu puluhan detik bagi gue untuk mengenali wajah cewek itu. Dan saat dia mendongakkan kepalanya dan menatap gue, dia tersenyum lebar. Si Cewek Halte.

"Oh, hei," sapa gue canggung. "Abis dari halte lagi?"

Cewek itu menautkan kedua alisnya sambil mengangguk. Mungkin dia bingung kenapa tebakan gue bisa tepat banget.

Yasmin menyenggol bahu gue, "Siapa, tuh? Temen lo?" bisiknya kecil.

Gue mengusap bagian belakang leher gue sambil menatap Cewek Halte itu. "Ah, Yas, kenalin ini..." gue menelan ludah. Siapa namanya? Gue aja belum pernah kenalan sama dia sebelumnya.

Gue tertawa, "Eh, gue belum tahu nama lo."

"Oh, ya?" Cewek itu tersenyum sambil menjulurkan tangannya. "Tatyana."

Gue menerima uluran tangan cewek itu, "Gue... G-Gavin."

"Gegavin?"

Yasmin menutup mulutnya, menahan tawa yang akan menyembur.

Gue berdeham, "Gavin," ulang gue mempererat genggaman tangan cewek yang ternyata bernama Tatyana itu dengan lebih mantap.

"Oooh, Gavin. Namanya lucu," pujinya sambil melepaskan tangannya. Gue baru sadar kalau tiap dia tersenyum, matanya jadi benar-benar sipit.

Tatyana menatap Yasmin hangat, gue pun memperkenalkan Yasmin kepadanya. "Ini adek gue, Yasmin."

"Hai," ucap Yasmin sambil menatap gue dan Tatyana bergantian dengan penuh arti. "Temennya Bang Gavin?"

Tatyana membasahi bibirnya yang kering. Sebelum dia berhasil menjawab pertanyaan Yasmin, gue menyela, "Gue ketemu dia beberapa kali di halte."

Tatyana membenarkan letak tasnya, matanya memandang buket bunga yanga da di tangan gue. Bibirnya komat-kamit nggak jelas sebelum mengatakan, "Saya duluan, ya. Lagi buru-buru soalnya."

Gue mengangguk, "Ah, hati-hati, ya."

Tatyana tersenyum lagi, "Kalian juga. Nice to meet you, Yasmin."

"Iya, Kak," timpal Yasmin. Setelah Tatyana melesat pergi, Yasmin menodong gue dengan berbagai pertanyaan.

"Cantik banget itu orang. Lo kenal di mana, Bang?"

"Kan udah gue bilang di halte. Lagian gue juga baru tahu namanya barusan ini," jawab gue sambil mencuri pandang ke arah Tatyana lagi. Gue tersenyum samar.

Tatyana.

Dia... apa kabarnya, ya? Terakhir kali gue ngeliat dia itu tiga hari yang lalu. Dan selama tiga hari itu, gue nggak pernah melihat dia di halte atau menunggu bus 105 itu. Ada apa, ya? Apa dia udah balik ke rumahnya lagi? Atau menetap di kost-an? Rumah temennya? Gue menghela napas pendek.

"Bang! Ngelamun aja, itu kayaknya ada taksi yang kosong. Setopin!"

"Dan mungkin, entahlah,

gue berharap Tuhan mempertemukan gue lagi 

dengannya..." 

—Gavin Aryadinata (12.22.13)

First TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang