VIII. Milki dan Sie Keamanan Pentas Seni

34 4 0
                                    

selamat membaca!

Milki memperhatikan keduanya saling berbicara dengan akrab. Ditambah kelembutan saat Samudra bicara kepada Dara membuat Milki ingin mencakar dan merusak wajah lugu Dara.

"Milki. Ini Dara dan temennya, Refa. Dara, Refa, ini Milki." Samudra saling mengenalkan ketiga perempuan itu. Milki berusaha tersenyum semanis mungkin walau hatinya terasa mencelos.

"Kabar lo gimana, Fa?" tanya Samudra ke arah teman Dara.

"Ya, gitu deh. It's been a nice summer vacation." balasnya.

"Oh, di Birmingham lagi summer?" tanya Samudra yang sesekali melirik ke arah Milki, "Asik dong."

"Ah, lo mah. Jangan ngomong sama gue. Sama Dara gih." tambah Refa.

Kalau diperhatikan, Refa memiliki badan yang sedikit montok dan kulit yang sangat eksotis. Sedangkan Dara memilki wajah yang lebih oriental dan badan yang beratnya seperti ukuran sepatu Milki, yaitu 43. Dengan Refa dan Dara yang sama-sama memilki kaki sejenjang itu, berdiri diantara mereka bertiga, Milki terlihat seperti anak SMP yang jalan bareng anak SMA baru lulus.

Ya, kalau gini caranya, ya, susah. Tampang gue aja udah kayak pantat kompornya abang cilor di deket lampu merah, batin Milki yang melamun ke arah abang-abang yang menjual cilor di luar area gedung ini.

"Mil?" Samudra mencolek lengan Milki yang melamun, "Gak usah deh. Aku sama temenku dulu."

Milki menatap ke arah Samudra bingung, "Eh, apaan, Dra?"

"Kalau Dara sama Samudra pergi sebentar gak masalah, kan?" Teman Dara mendahului sebelum Samudra bisa menjawab pertanyaan Milki.

Mulut Milki membentuk huruf o untuk sekian detik, lalu ia berkata, "Ya, gak apa sih. Kalau Samudra gak masalah, gue gak—"

"Nah, kan, udah kalian berdua sana, sana, sana." potong teman Dara yang langsung saja menggait Dara dan Samudra pergi.

"Eh ... Mil—" Kalimat Samudra terpotong bersamaan saat dua perempuan itu menariknya. Kaki Milki terasa beku karena tidak bisa menahan kepergian Samudra atau tetesan air mineral yang ada di tangannya.

Milki hanya mengunci rapat mulutnya dan berjalan kembali ke pintu masuk gedung. Milki mendorong dan menarik pintu berbalut beludru berwarna merah maroon itu. Hasilnya nihil. Gerbang pintu itu tidak mau membuka dirinya untuk membiarkan Milki kembali ke gedung itu.

Milki pun meletakkan botol air mineral yang ada di tangannya. Dirinya bersikeras untuk membuka pintu itu. Dia yakin kalau pintu ini bisa terbuka.

"Ada yang bisa dibantu, kak?" tanya seseorang di belakang Milki. Milki langsung menoleh ke belakangnya, yang ternyata adalah salah satu panitia. Milki tahu dia merupakan panitia acara pentas seni ini karena semua panitia pensi memakai kaos ungu berbahan kaos, begitupun juga dia.

"Saya mau masuk tapi kok dikunci, ya?"

Dia tersenyum tipis, "Mohon maaf, kak. Sekarang sudah pukul sembilan lima belas. Close gate sudah tiga puluh lima menit yang lalu."

"Tapi, handphone gue—ugh, sialan." Milki mengunpat pelan saat merana kantong celananya yang kosong.

"Maaf, kak. Sudah close gate."

Milki memasang wajah memelas, "Plis, ijinin gue masuk. Eh! Gue ada freepass performer punya si ... Samudra."

Lagi-lagi, Milki mengumpat dan si panitia itu mendengar umpatannya, "Maaf, kak. Bisa menunggu di situ saja kalau tidak ada freepass performer."

Milki makin kesal saat si panitia itu berbicara kepada Milki seolah Milki berbohong, "Masukin. Gue. Ke. Gedung. Seka—"

"Close gate."

"Sekarang atau—"

Si panitia tersenyun kecut sebelum Milki menyelesaikan kalimatnya, "Close gate."

"Ah, persetan!" Milki mendengus kesal dan berjalan menjauh dari gedung serta panitia sie keamanan yang mengesalkan tersebut.

"Kak, tunggu!" panggil si panitia.

Haha, kau pasti menyesal, kan, ya? batun Milki dengan tersenyum puas.

Milki memutar badannya, "Botol minumnya tertinggal."

s a l a m — s q u a c k

Mengejar SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang