IX. Kopi Hangat Bersama 2 Otak Rempeyek

51 5 0
                                    

selamat membaca, sayang!

Kalau di novel romantis yang berisikan kalimat puitis, sekarang Milki sedang berpikir tentang kepergian Samudra bersama Dara yang cantiknya melebihi batas wajar.

Namun, ini bukan novel romansa Romeo and Juliet karya William Shakespeare atau tulisan Pidi Baiq yang berjudul Dilan.

Maka, alih-alih, ia mengumpat sekhusyuk mungkin di dalam hatinya karena malu dengan si panitia sie keamanan dan kesal karena ditelantarkan oleh Samudra.

Walau 95% ini bukan salah Samudra, tapi jika saja Samudra menolak ajakan Dara dan Refa, Milki tidak mungkin terduduk di lobby gedung saat bulan sudah bersinar benderang dan jalan raya nyaris sesepi orang bisu yang mengomel.

"Terima kasih, SMA Negeri 109, selamat malam!" terdengar samar-samar suara Tulus setelah menyanyikan lagu Sepatu sebagai penutupan pentas seni malam ini.
Ribuan orang juga ikut menyeru membalas.

Ceklek, suara pintu itu dibuka oleh si panitia sie keamanan, matanya terlihat berat sambil mengusap-udap matanya.

Kalau dipikir-pikir, kasihan juga. Disuruh menjaga pintu, namun tak bisa melihat kemeriahan pentas seni sekolahannya.

Kalau dipikir-pikir, Milki dan si panitia sie keamanan ini sama-sama ditelantarkan.

Suara derap kaki yang makin lama makin banyak membuat Milki otomatis berdiri dari duduknya. Ia melongok mencari-cari salah satu batang hidung sahabatnya atau pun anggota Dua Ribu Satu.

Kalau dipikir-pikir, gue ini gak pendek-pendek amat ya. Buktinya gue gak perlu lompat-lompat nyari anak-anak, batin Milki yang masih mencari temannya dengan bibir yang membentuk senyum penuh kepuasan, refleks menghibur hatinya yang galau.

"Lo ngapain, sih, senyam-senyum kayak orang imbisil?" ucap Erik tiba-tiba yang berada disampingnya.

Milki menoleh dan menoyor kepala Erik dengan botol kosong yang ada di tangannya, "Lah, lo ngapain mau ngomong sama orang imbisil? Berarti lo lebih imbisil daripada orang imbisil dong."

"Nah, ini dua anak, punya hobi kok adu bacot." kata Panna saat berjalan ke arah Milki dan Erik.

Erik membalas, "Gue juga baru nemu kali sama si kurcaci ini."

"Eh, inget, ya, dulu pas SMP, tinggi lo seberapa—"

Kalimat Milki terpotong oleh Erik, "SMP, ya, SMP, aja lah. Sekarang yang penting udah kelas 11."

"Hash, udah-udah. Ayo, ngopi." sela Panna yang berlalu.

"Ini, neng." Segelas wedang jahe dan kopi susu hangat disalurkan oleh bapak-bapak berkopyah putih tulang yang awalnya putih bersih karena efek dipakai tiap hari.

Milki tersenyum ke arah bapak itu dan menyodorkan kopi hitam itu ke Panna, namun gelas berisi wedang jahe itu malah diambilnya. Milki menatap Panna bingung.

"Kalian berdua sadar, kan, kalau gue bisa langsung diare kalau nyereput cairan yang mengandung kafein ini?" tanya Milki yang mengamati gelas bening yang hangat itu.

"Tinggal digugurin aja." jawab Panna yang berusaha melucu dan parahnya Milki langsung menyemburkan kopi yang akan ditelannya dan tepat mengenai Erik yang ada di depan Milki.

Milki terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya, "Sialan, lu, Pan, asli lucu."

"Lo berdua, tuh, aneh." komentar Erik sambil mengelap kopi semburan Milki. Untuk ukuran laki-laki yang agak tempramen, Erik cukup sabar menghadapi Milki.

Panna menyeruput wedang jahenya, "Kenapa tadi kok gak balik ke gedung? Tadi asik tau."

"Maunya sih gitu, tapi ..." ucap Milki menggantung seolah malu untuk melanjutkan ceritanya.

" ... tapi?" Erik mengulang kata Milki dan mengambil pisang goreng di dalam wadah tembus pandang yang sudah dingin.

Milki melengos, "Gue berantem sama panitianya. Katanya, udah close gate, makanya gue gak boleh masuk. Emang sialan."

"Lo kebanyakan dosa sih." Erik mengomentari, "Coba lo ajak si Kantya atau Mela."

"Emang kenapa kalau si Milki ngajak Kantya sama Mela?" tanya Panna dengan serius.

"Orang tuanya si panitia pasti bakal buat bunga karangan soalnya anaknya mati dikeroyok tiga preman." jawab Erik yang sudah memasang kuda-kuda menghindari dari tonjokan Milki.

Milki langsung memicing sadis ke arah Erik dan menyolek Panna yang menahan tawa di sebelahnya, "Pan, si Erik ngelucu tuh. Lo gak ketawa gitu?"

Erik langsung memutar bola matanya. Panna pun tertawa melihat kedua temannya itu saling adu mulut. Ia pun memutuskan untuk memulai pembicaraan serius di tengah malam itu, "Perasaan lu tadi sama Samudra, deh, sekarang si tusuk sate itu mana?"

Milki menelan ludah dan mencoba menyeruput kopi itu dengan pelan. Hanya sekadar menghangatkan tubuhnya yang tiba-tiba kaku saat mendengar nama laki-laki itu disebutkan. Tiba-tiba saja, Milki teringat kembali tentang si cantik Dara dan sahabatnya, Refa. Bagaimana jari-jari lentik itu menggandeng lengan kurus si Samudra atau hanya sekadar betapa halusnya cara Samudra berbicara kepada Dara.

Milki mengangkat bahunya sambil senyum seceria mungkin, "Diculik sama bapak dagang cilor di lampu merah. Katanya belum bayar utang tiga bulan."

Lalu, tawa ketiga pemuda-pemudi itu memenuhi warung kopi emperan di malam itu walau salah satu diantaranya sedang memendam galau.

sa ae lah si milkita nahan galau tapi masi bisa bercanda????

apa cuma gue yang kayak si milkita? sedih bat dah:')

OKE JAN LUPA VOMMENT???<3

s a l a m — s q u a c k

Mengejar SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang