IV. Kelas 9 Tersuram milik Milkita Prabowo

59 8 0
                                    

selamat membaca!

Dua tahun sebelumnya ...

Hukum Kirchoff, mencari titik bayangan lensa, dan penalaran dalam pengerjaan soal materi bab peluang jelas kelemahan Milki. Kurang dua bulan lagi Ujian Nasional sudah akan dilakukan dengan berbasis komputer. Persiapannya hanya tinggal pengulangan materi hafalan dan pengerjaan latihan soal.

"Bun, Milki gak siap UNAS." Milki mendeklarasikan kekalahannya dalam mengerjakan buku latihan soal sambil melihat bunda memasak salad sayur.

Bunda masih fokus mengaduk dua mangkok besar berisi potongan wortel, lobak, dan acar dengan saus mayones, "Mau masuk SMA bagus atau pinggiran? Itu semua ada di tangan Milki, kok."

" ... bunda sama ayah gak pernah maksa." ucap bunda dan Milki secara bersamaan karena Milki tahu persis yang apa bunda bakal ucapkan. Bunda hanya tersenyum kecil melihat kelakuan anaknya yang baru semi-dewasa.

"Masa hasil try out satu angkatan yang terakhir kemarin Milki nilainya 28. Itu rata-rata 7. Padahal ini H-60, bun." curhat Milki yang nyaris menangis.

"Siapa suruh kemarinnya nonton konsernya Shawn Mendes di Marina Bay? Bunda, kan, gak mengijinkan. Untung aja ayah Milki lagi berbaik hati waktu itu."

Milki menelan ludah karena jujur saja itu memang salahnya. Dirinya memutuskan untuk tidak membalas argumennya dengan bunda.

Klek. Bunda menutup segel wadah berisi salad sayur yang sudah tertata rapi.

"Anter ke rumah Tante Aryo, gih, ini kemarin bunda pinjem wadah." suruh bunda sambil mengalihkan topiknya.

Milki mengangkat kepalanya yang terkelungkup di atas buku latihan soal dengan kacamata yang tidak karuan posisinya lalu ia menjawab, "Males ketemu Brian, bun."

"Aduh, udah temenan dari kecil, masih jaman males?" tanya bunda dengan penekanan di akhir kalimat.

Milki mendengus pelan dan menarik nafas berat, "Semenjak pisah SMP kita jarang main."

"Ya, ajak main duluan." jawab Bunda tanpa melihat ke arah Milki.

"Aku cewek, bun."

"Terus cowok harus duluan? Cewek emangnya harus diem terus? Enggak, kan, Milkita, sayang." Bunda meraih pipi Milki dan mengusapnya pelan.

Sekali lagi Milki menarik nafas berat namun pelan. Kali ini dirinya tidak ingin menampakkan kekesalannya di depan bunda.

"Milki, ganti baju dulu."

Klek, suara pintu teras tertutup. Milki mengambil kunci gerbang rumah di dalam kantong sweater yang ukurannya lebih besar 2 kali lipat dari badannya. Membuatnya terlihat seperti anak kecil yang akan kehilangan keseimbangannya. Tangan kirinya menyeimbangkan wadah berisi salad walau tangan kanannya berusaha membuka gembok gerbang rumah.

Untungnya, Milki sudah berlatih selama 13 tahun.

Gebrakan suara drum serta gitar memekakkan telinga Milki. Itu berasal dari bagian belakang rumah Brian sesaat Milki memasuki area taman rumah yang tepat berada di sebelahnya itu. Pasti band-nya kampung banget, batin Milki.

Centing! suara bel sesaat setelah Milki menekan bel yang terletak di pintu rumah sebesar dua kapling itu. Terdengar suara pekikan yang saling membalas. Suara lantunan lagu di belakang rumah itu pun terhenti. Terasa suara kaki yang dijejakkan semakin lama semakin keras.

"Cari si— eh, Milki, ada apaan?" tanya Brian sesaat setelah pintu itu terbuka.

Milki menyodorkan wadah di depan Brian, "Bunda titip buat Tante Aryo. Ya, udah. Duluan ya."

Brian yang saat itu tingginya hanya setelinga Milki itu menarik tudung hoodie Milki, "Eh, eh, tunggu, lihat band gue latihan dulu dong."

"Ish, gak, gak," Milki menghempaskan tangan Brian di hoodie kesayangannya, "temen lo yang cewek-cewek, tuh, kan sering main, suruh aja mereka."

"Dih, cemburu ya?" tanya Brian sambil menaik turunkan alisnya. Milki memutar bola matanya untuk menutupi rasa malunya. Walau tidak ada perasaan lebih antara kedua anak ini, Milki tetap dendam dengan Brian karena menelantarkannya sejak berbeda sekolah di sekolah menengah pertama.

"Udah, ah, sekalian gue kenalin ke temen-temen gue, kali aja lo bakal satu SMA nanti sama mereka," tutur Brian yang ada benarnya juga. Brian membuka pintu rumahnya makin lebar.

Milki mendengus pelan, "Sekalian ketemu sama si Karin deh. Adik lo ada, kan?"

Mengejar SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang