Aku di Jogja. Sudah tiga hari. Tidak bersama Lani, tidak juga bersama Tita. Apalagi Andra, itu sih harapanku. Tapi... Ingat Om-om yang dari Surabaya? Yang membuatku membatalkan janji dengan Andra untuk pertama kalinya? Yah, aku bersamanya sekarang. Sebenarnya aku enggan. Membayangkan harus meninggalkan semua yang aku sayangi walau hanya untuk tiga hari, apalagi karena harus bekerja seperti ini. Habis mau bagaimana lagi, aku butuh uang. Lani butuh uang. Mbok Ratmi pun butuh uang. Seharusnya aku dirumah, belajar untuk persiapan ujian EBTANAS minggu depan. Tapi, liburan seminggu yang diberikan sekolah untuk para pelajar kelas tiga dalam mempersiapkan diri untuk ujian malah kugunakan untuk ini. Melacur demi uang. Aku jadi ingat sewaktu Lani marah-marah karena tidak aku ajak. Aku tidak ingin Lani sampai bolos sekolah, apalagi menemaniku melakukan hal bejat ini. Wah, jangan sampai dia tahu. Aku bisa gantung diri. Aku beralasan mau mencari kerabat Bunda yang katanya ada di Surabaya. Aku tak ingin mereka tahu bahwa aku ke Jogja. Andra adalah orang kedua yang turut marah dengan kepergianku. Alasannya hampir sama. Dia bersikeras untuk menemaniku ke Surabaya. Dia tak mau membiarkanku pergi sendiri ke daerah yang belum pernah aku kunjungi. Tapi aku membuatnya bisa mengerti. Aku katakan padanya bahwa aku ingin mengurus masalah keluargaku sendiri saja. Bila semua sudah beres, barulah aku mengajaknya dan berkenalan dengan keluarga besar Bunda. Ya Tuhan. Kebohongan yang tak akan pernah terampuni. Tapi keinginanku untuk membahagiakan Lani dan menyekolahkannya sampai Universitas lebih kupikirkan daripada perasaan orang-orang yang menyayangiku.
Kembali ke masalah keberadaanku di Jogja bersama si Om dari Surabaya. Namanya Pamungkas. Aku biasa memanggilnya Om Pam. Dia ada urusan bisnis disini. Karena dia suka sekali padaku, makanya dia mengajakku lagi. Biar aku bisa lihat-lihat kota Gudeg, yang katanya indah itu. Dia sudah tahu nama asliku. Dalam suatu kesempatan aku pernah bercerita dengannya perihal keadaanku yang sebenarnya. Itupun karena dia memaksa aku untuk bercerita, apalagi dia penasaran kenapa gadis semuda aku mencari kerja dengan cara seperti ini. Malam pertama di Jogja, sewaktu baru tiba di dalam kamar Hotel Mutiara II yang terletak di jalan Malioboro, dia melamarku. Katanya untuk "membantu" kehidupanku. Yah, semacam kawin kontrak. Bila aku sudah mapan maka akan "Diceraikan" olehnya. Tapi aku menolak. Aku tak mau jadi semacam isteri simpanan. Dia pun sering menanyakan nomer rekening Bank milikku agar dia bisa mentransfer sejumlah uang bila aku membutuhkannya. Tapi aku sering juga menolaknya. Aku tak mau bergantung apalagi sampai terikat dengannya. Sebenarnya Om Pam itu orang baik. Dia begini karena sang isteri main gila dengan laki-laki lain yang umurnya jauh lebih muda. Berondong. Dia belajar untuk mema'afkannya, walau isterinya masih sering mengulanginya. Dan setiap Om Pam ingin mengungkapkan kasih sayangnya di atas ranjang, sang isteri selalu menolak dengan alasan capek atau mengantuk. Namun Om Pam tak mau menceritakan alasannya kenapa Om Pam sulit menceraikan isterinya. Umur Om Pam memang diatas 40 tahun. Tapi masih kelihatan gagah dan tegap, walau agak sedikit gempal. Sering fitness, katanya. Dia butuh pelarian. Makanya sewaktu dia ada urusan bisnis di Jakarta, dia melakukannya, denganku. Dia tahu aku lewat Prince, siapa lagi? Mereka bertemu sewaktu Om Pam menghabiskan malam direstoran tempat Prince bekerja sebagai bartender.
"Jangan kebanyakan melamun Non, nanti kesurupan", suara Om Pam membuyarkan lamunanku. Aku membalikkan tubuhku dan membelakangi jendela kamar hotel yang menghadap jalan Malioboro yang ramai oleh pedagang kaki lima dan pejalan kaki sambil tersenyum. Hari semakin siang dan panas. Om Pam baru pulang dari urusan bisnisnya. Kali ini dia hanya pergi sekitar dua jam, tidak seperti kemarin yang baru pulang kehotel sekitar pukul 6 sore. Om Pam baru selesai mandi. Dia kepanasan dan keringatan sewaktu masuk kamar setengah jam yang lalu. Kalau sering berkeringat seperti itu, dia biasanya bisa mandi sampai 4 kali dalam sehari. Itu katanya.
"Sudah selesai mandi Om?", ah bodohnya. Sudah jelas begitu masih saja aku tanya.
"Iya. Kamu sudah mandi, Non?", ujarnya sambil mengusap-usap rambutnya yang basah dan kemudian mengambil sisir kecil yang terletak dimeja rias kamar hotel.
KAMU SEDANG MEMBACA
INI AKU
Teen FictionAku murid sebuah sekolah menengah atas. Aku korban perkosaan oleh ayah tiriku. Aku juga menjalani hidupku sebagai pelacur. Tak perduli betapa jijiknya kalian pada aku... tapi inilah aku