POV Fatih
Hari-hariku berjalan dengan baik seperti biasanya. Setiap hari selasa, rabo dan jum’at praktek di rumah sakit, melayani pasien, sedangkan hari senin dan kamis berada di perusahaan Ale. Tidak ada yang spesial dengan hari-hariku akhir-akhir ini. Saat keluar dari coffee shop, tiba-tiba langkahku terhenti. Dari seberang jalan dia menatapku. Jujur aku sedikit merindukannya, tapi dia sudah mempermainkanku. Dan aku tegaskan, permainannya tidak akan bisa berlanjut. Tanpa menoleh kanan dan kiri, dia menyeberangi jalan begitu saja. Beberapa mobil harus mengerem mendadak karena pria sinting ini.
“Aku mau menyelesaikan pembicaraan kita yang belum selesai.” Katanya saat dia berdiri tepat 3 langkah dari tempatku berdiri.
Dia sangat tinggi dan tampan, tapi mengapa dia tidak memiliki sifat yang juga tampan seperti wajahnya. “Pembicaraan yang mana?” Tanyaku dengan nada bicara setenang mungkin.
Dia menatap kedua mataku, menatapnya sangat lekat hingga membuatku merasa sedikit terintimidasi. “Pembicaraan kita sebelum papaku mengumumkan pernikahan antara aku dan Tia.” Cara bicaranya sangat tenang. Aku bahkan tidak bisa menemukan rasa takut atau khawatir di kedua matanya.
Apa dia nggak merasa bersalah? Lagi-lagi, hanya aku yang merasa tersakiti. Sama seperti dulu. Kataku dalam hati lalu tersenyum kecut. “Bicaralah.”
Ku lihat sekali dua kali dia menelan ludah. “Papa-mamaku dan papa-mamanya Tia memutuskan untuk menikahkanku dengan Tia tanpa bilang dulu ke kami berdua. Aku juga baru tau satu jam sebelum acara sore itu dimulai. Aku mohon jangan fikir yang aneh-aneh tentang aku dulu. Aku nggak mempermainkan kamu.” Adrian maju satu langkah lalu meraih tangan kananku dan mengusapnya dengan lembut seolah takut melukainya. “Tentang aku bilang kamu wanitaku,............aku serius.”
Jujur aku merasa tersentuh mendengar kalimatnya yang terakhir, tapi entah mengapa aku tidak bisa membuka pintu hatiku lagi untuknya. Bisa bersama dengannya beberapa hari yang lalu terasa seperti mimpi. Mimpi indah yang terlalu berbahaya untuk dilanjutkan. Sekarang saatnya aku harus bangun dari mimpi itu. Aku tidak mengucapkan apa-apa, lidahku terlalu kelu untuk mengucapkan kata-kata yang mewakili perasaanku saat ini. Rasanya tidak pantas bagi seorang Faith untuk berharap atau bermimpi terlalu tinggi. Orang bilang kalau jatuh akan sangat sakit rasanya. Dalam keheningan aku mulai berjalan meninggalkannya.
Baru tiga langkah aku berjalan, dia menahan tanganku. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Sungguh ingin rasanya aku lari kedalam pelukannya, tapi itu hanya mimpi yang sia-sia.
“Sampai jumpa.” Ucapku lalu melepaskan tanganku dari cekalannya dan kembali berjalan.
Rasanya seperti ada lagu yang berputar saat adegan kami tadi seperti di dalam film. Mungkin kalau di dalam film akan terasa sangat keren, tapi nyatanya rasanya sakit. Dadaku sesak karena harus menahan perasaan sakit di hati. Ingin menangis rasanya, tapi jika aku menangis sekarang, aku takut akan merusak make upku, sedangkan aku harus pergi bersama Ale 1 jam lagi.
***
Author POV
"Mama! Bisa tolong jelaskan kenapa tiba-tiba mama dan papa memutuskan untuk menikahkan aku sama Tia?!" Teriak Adrian dengan wajahnya yang merah karena marah.
Ruth menatap putra sematawayangnya dengan tatapan takut. Belum pernah dia melihat Adrian semarah ini. "Karena mama mau segera punya cucu Ian. Apa salah kalau mama mau kamu menikah sama wanita pilihan keluarga kita yang sudah jelas bibit, bebet dan bobotnya?" Jawab Ruth tak kalah marahnya dengan Adrian.
"Tapi masalah penting kayak kemarin, mama seharusnya ngomong dulu ke aku! Bukannya tiba-tiba mengumumkan gitu aja!" Wajah Adrian memerah dan tampak frustasi.