1

116 12 0
                                    

Seorang gadis kecil berumur tujuh tahun duduk terdiam di sebuah kursi taman. Tatapannya datar dan kosong, seakan-akan jiwanya terbang keluar dari raganya. Tubuh putih mungilnya penuh luka-luka, namun dia tidak menangis. Dia hanya terpaku menatapi lengan dan kakinya yang penuh memar.

"Kau kenapa?" sebuah suara kecil membuyarkan lamunan gadis kecil itu.

"Menikmati rasa," sahut gadis itu.

"Oh, ya? Rasa apa yang sedang kau nikmati? Apa kau sedang memakan sesuatu atau sebagainya?" tanya bocah laki-laki yang menyapanya tadi.

"Aku tidak sedang memakan sesuatu. Aku menyukai rasa yang terselubung menyelimutiku saat ini," jawab gadis itu pelan.

Bocah laki-laki itu sedikit mengernyit bingung, "Aku tidak paham maksudmu. Rasa apa yang kau sukai dan sedang kau nikmati itu?"

Gadis itu menaikkan sudut bibir mungilnya, "Rasa sakit dari penyiksaan orang lain, dan rasa sakit dari siksaanku sendiri."

"Kau terluka? Apa aku harus mengobatimu?"

"Tidak. Kau pulang saja. Aku tidak apa-apa. Lagipula, siapa kau?" sungut gadis itu.

Bocah laki-laki itu mengambil tempat di samping sang gadis.

Ditunjukkannya sebuah senyuman lebar kepada sang gadis suram itu. "Aku adalah orang baru disini.Namaku Ken Kurokiba. Aku blasteran dari Jepang. Siapa namamu?"

Gadis itu memiringkan kepalanya ke kanan, menatapi wajah bocah laki-laki di depannya, "Kau, wajahmu benar-benar mirip dengan wajah Jepang," gumam gadis itu.

"Hei, kau belum memberitahu namamu," protes bocah bernama Ken itu.

Gadis tu mengerucutkan bibirnya, "Rachel,"

"Itu saja? Nama margamu?"

"Aku tidak mau menyebutkan margaku. Aku membencinya."

Ken-bocah laki-laki itu menatap gadis kecil disampingnya dengan tatapan sendu, "Aku tahu bagaimana perasaanmu. Aku ditinggal mati Ibuku dan sekarang aku tinggal bersama suami Ibuku. Dan dia tidak mengakuiku sebagai anaknya."

Rachel hanya terdiam. Tatapannya kembali kosong saat memandang jalanan.

"Apakah kau juga sama?" tanya Ken.

Gadis kecil itu—Rachel mengangguk pelan, wajahnya kembali suram, "Aku tidak dianggap oleh kedua orang tuaku. Karena itu aku juga tidak mengakui mereka. Aku tak akan pernah mau memanggil mereka dengan sebutan Ayah atau Ibu. Itu menjijikkan."

Ken mengangguk, "Aku setuju denganmu. Aku tidak mau mengakui orang itu sebagai Ayahku. Tapi, mengapa tubuhmu penuh memar? Kau disiksa oleh mereka?"

"Bukan. Ini karena teman-teman di sekolahku, separuhnya itu ulahku sendiri. Aku suka kesakitan."

"Kau suka rasa sakit? Kalau aku lebih suka menyakiti daripada disakiti. Terkadang, aku memasung Ayahku saat dia tidak sadar. Kadang kali, aku menyekapnya di gudang."

Gadis itu menatap intens Ken, seakan-akan menyedot semua jiwa milik Ken.
"Hei, aku ingin membunuh mereka berdua, kau mau ikut?" tanya Rachel tiba-tiba. Suaranya terdengar datar, membuat merinding siapapun yang mendengarnya.

Tapi, Ken tidak merasa takut. Dia justru menatap intens kembali wajah Rachel. Matanya menyiratkan persetujuan, "Tentu, kenapa tidak?"

"Kau janji?"

"Ya."

"Baik, kita akan berusaha semampu kita. Aku akan membunuh milikku, dan kau membunuh milikmu." Ujar Rachel.

overLoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang