7

32 10 0
                                    

“Selamat pagi, aku datang menjengukmu hari ini.”

Aku memandang heran ke arah pintu, “Apa yang kau lakukan disini, Ken Kurokiba? Aku sudah tidak ingin bertemu denganmu!”

“Aku tahu,” ucapnya pelan. Dia mengambil tempat duduk di samping kasurku, kemudian mengelus puncak kepalaku. “Aku harap, kau sudah sehat sekarang.”

Aku menepis tangannya, “Maksudmu, masochist-ku, atau keadaanku sekarang?”

“Dua-duanya,” sahutnya. “Aku ingin kau sembuh, Rachel.”

Aku menarik diri, sedikit menjauh padanya, “Mengapa? Bukannya dulu kau sangat mendukungku? Maksudku, kita sama, bukan?” tanyaku parau.

“Rachel, dengarkan aku dulu. Kita harus bisa hidup normal.” Ujarnya pelan, diremasnya kedua tanganku dengan erat.

Aku kembali menepis tangannya, “Tidak bisa. Aku tidak akan bisa tertawa bahagia seperti biasanya jika sifat itu kuhilangkan.”

“Aku akan membantumu.”

“Apa?”

“Aku bisa membuatmu normal, dan sembuh sepertiku.”

Aku menghindari tatapannya, “Apakah bisa? Tapi, aku tidak yakin bisa sembuh.”

“Aku yakin kau bisa. Aku sangat yakin.”

Tangannya memegang wajahku agar menatapnya, “Percayalah padaku, Rachel.” Ujarnya pelan.

Aku mengernyitkan dahiku, bimbang. “Bagaimana caranya?”

Dia tersenyum sangat lembut, “Kita berdua harus berkencan.”

Apa katanya tadi?

“Kencan?”

“Ya. Maksudku, seperti orang-orang lainnya. Mereka biasanya melakukan itu, bukan?” ujarnya ramah.

Aku menimbang-nimbang sesuatu, “Aku tahu, tapi bukankah itu biasa dilakukan oleh sepasang kekasih?”

“Kita tinggal membaur seperti mereka saja.” Sahutnya.

“Ken, aku—”

“Lakukan.” Ujarnya sambil menatapku tajam. Belakang kepalaku ditahan olehnya dengan kuat, sehingga mataku bisa bertatapan dengannya. Mata tajam itu seperti mengulitiku habis-habisan.

Aku sedikit ragu dengan ajakannya, namun dia ingin aku menjadi normal. Setidaknya, mencoba sedikit saja tidak salah, bukan? Berharap saja, ini tidak akan berhasil. Sepertinya, berpura-pura di depannya sedikit menyenangkan.

“Baiklah. Aku akan melakukannya.” Ujarku kemudian.

Raut muka Ken yang semula kaku berubah menjadi lembut. Dia tersenyum padaku, dan mengusap ujung kepalaku. “Aku akan menunggu ketika kau sudah sembuh.”

Dia beranjak keluar dari ruanganku. Tapi, sedetik kemudian dia membalikkan badannya kearahku, “Oh, aku akan selalu mengunjungimu seperti ini, Rachel.”

Aku mengangguk singkat padanya, dan dia pun berlalu. Perasaanku mengatakan jika sifat sadistic milik Ken belumlah sembuh total. Aku masih merasakan rasa itu, rasa sakit saat dia menatapku. Tatapan tajamnya masih seperti dulu, dan aku mengingat bagaimana rasanya saat dia mengintimidasiku.

Tapi, apa yang ada di pikirannya sekarang? Mengapa dia ingin aku menghilangkan sifat masochist-ku? Dia seperti memaksakan diri bersikap ramah dan normal. Aku tahu, ada yang disembunyikan darinya.

Klak..

“Apa yang baru saja kau bicarakan dengannya?”

Aku menarik selimutku dan kembali merebahkan diri. “Pergi dari sini!”

“Apa yang kau lakukan? Mengapa kau selalu seperti itu ketika aku mengunjungimu?”

Aku mendecih sebal. Bagaimana tidak? Dia datang lagi! Dokter sialan itu datang lagi! Dan hal paling menyebalkan lainnya adalah pertanyaan itu. Dia selalu menanyakan hal itu ketika Ken selesai menjengukku. Mengapa dia begitu sensitif dengan Ken? Karena dia bekas tahanan?

“Aku melakukan ini karena membencimu. Jadi, pergilah!” pekikku.

Aku bisa mendengar suara langkah Christian yang semakin dekat. Sial, dia mengabaikan teriakanku. Bukannya menjauh, dia malah makin mendekat. Apakah dokter gila itu juga tuli?

Dengan geram, aku menyikap selimutku dan berteriak di hadapannya, “Sudah kubilang, pergi!!”

Shit!

Tanganku yang ingin melemparinya dengan bantal pun tergenggam erat olehnya. Dia mencengkeram tanganku kuat, dan rasanya sakit.

“Berhenti bersikap seperti ini.” ujarnya datar.

Aku meronta ingin melepaskan tanganku darinya. Tapi, nihil. Genggamannya terlalu kuat. “Kau ingin aku berhenti, hah? Kalau begitu, aku juga mau kau berhenti mengikutiku. Bisa?” tantangku.

“Aku berkewajiban untuk merawatmu!” bentaknya padaku. Aku tetap tak gentar menatapnya, kubiarkan saja dia berkata semaunya. Aku tidak peduli.

“Aku tidak menyruhmu untuk merawatmu, paham?!” balasku dengan membentaknya.

“Setidaknya menurutlah sedikit saja!”

“Kau ingin aku menurutimu? Mimpi saja sana!”

Kulepaskan tanganku dari cengkeramannya dan kupelototi dirinya dengan tajam. Aku benar-benar membencinya. “Apapun yang telah kau lakukan selama ini padaku tidak berefek apa-apa. Dan jangan harap aku berterima kasih padamu. Karena aku tidak pernah memintamu melakukan itu.” Ujarku sarkastik.

“Berapapun kau mengusirku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Sahutnya, dan hal itu membuatku muak.

“Kau ini gila, ya?! Aku sudah lelah berurusan denganmu! Aku tidak mengenalmu!” pekikku padanya.

Dengan kasar, kucabut selang infusku. Aku menuruni tempat tidur itu dan berlari keluar ruangan. “Jangan berani-berani untuk mengejarku!” teriakku.

“Rachel! Berhenti!”

Aku tetap berlari sekuat tenaga, meski aku tahu bahwa tubuhku masih lemah. Tetapi, aku tidak tahan dengannya. Jika dia tidak mau pergi, maka aku yang akan pergi darinya. Ini lebih baik. Ya, ini lebih baik.

Napasku terengah-engah. Aku kehabisan oksigen. Kuhentikan langkahku, dan kusandarkan tubuhku pada sebuah pohon besar di sebuah jalan. Oh, yeah, aku sekarang tersesat. Kabur dari rumah sakit, dan sekarang lupa jalan pulang. Tetapi, aku lega, karena dia tidak mengejarku. Aku bisa bebas.

“Rachel?”

overLoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang