12

40 12 0
                                    

Aku terbangun saat rasa sakit menyenangkan itu terasa nyata di leherku. Dan, yah, aku sedikit tak ingat apa yang terjadi kemarin kepadaku, maupun Ken. Ingatanku memburam.

Sebentar, mengapa aku berada di kamarku sekarang? Seingatku, kemarin aku masih berada di rumah Ken. Siapa yang membawaku kesini?

“Halo, Rachel-ku..”

Ken, dia datang kembali padaku sambil membawa beberapa makanan. Dia memanggilku seperti itu, sebenarnya ada apa?

“Ken, boleh aku bertanya? Apa yang terjadi kemarin? Dan, mengapa kita bisa disini?” tanyaku, sambil memegangi kepalaku yan sedikit pusing.

“Aku yang membawamu kesini. Tenang, aku tidak melakukan apa-apa.” ujarnya.

“Tapi, leherku terluka. Oh, dan bibirku sedikit membengkak.” Tukasku.

Ken duduk disampingku. Disodorkannya nampan berisi makanan itu di pangkuanku dengan lembut, “Makanlah dulu. Baru nanti kuceritakan.”

“Aku tidak lapar. Aku benci karbohidrat.” Ujarku, menolak makanan yang dia berikan.

“Kau memerlukan nutrisi, Rachel. Makan.” Suruhnya, sambil mendorong kembali nampan itu.

“Tidak, Ken. Aku tidak memakan karbohidrat. Aku memiliki eating disorder.” Ungkapku.

“Aku bilang, makan itu, Rachel. Makan.” Paksa Ken.

Aku tetap menolaknya. Tetapi, dia masih bersikeras memaksaku memakan makanan itu. “Kumohon, aku tidak ingin makan, Ken.” Ucapku sedetik kemudian.

Kulihat matanya berubah nyalang, seakan ingin memangsaku saat ini juga. Tangannya mengambil roti isi itu dan mengarahkannya ke mulutku. “Kukatakan sekali lagi. Makan. Kau harus makan.” Ujarnya, sambil menjejalkan roti itu tepat di dalam mulutku.

Tanganku meronta ingin menepisnya, namun tidak bisa. Tangan kirinya mencekal kedua tanganku erat, sehingga aku tak bisa berkutik. Sementara, tangannya yang satu lagi masih menjejalkan makanan itu ke mulutku yang sedikit membengkak. Dia memelintir tanganku kasar, sehingga mulutku terbuka karena merintih. Hal itu pun dimanfaatkannya untuk memasukkan makanan yang dipegangnya ke dalam kerongkonganku. Oh, tidak. Aku benci karbohidrat.

“Makanlah sampai habis, Rachel. Makan.” Suruhnya sambil terus menyuapiku dengan kasar.

Dengan sekuat tenaga, aku mendorong tubuhnya menjauh dariku. Dia sedikit terhindar dariku, dan kuusap sisa-sisa makanan yang ada di tepi bibirku. “Hentikan, Ken. Jangan paksa aku.” Ujarku kemudian.

Ken berdiri tegap di hadapanku, “Tubuhmu lemah, Rachel. Kau kehilangan banyak darah. Karena itu, kau harus mengisi kembali nutrisi di dalam tubuhmu.”

“Aku tidak pernah makan makanan itu. Aku hanya membutuhkan serat.” Ujarku.

Ken mendekatiku. Dia mengusap lembut bibirku yang kotor dan bengkak, “Rachel sayang, kau harus menurutiku, atau kau akan mendapat hukuman.”

Aku masih terdiam menunduk. Aku tidak bisa memenuhi perintahnya. Aku tidak bisa memakan itu. Seharusnya dia tahu hal itu. Aku menggeleng pelan di depannya, “Tidak.”

Mata Ken berubah menjadi tajam kembali. Dia sangat marah kepadaku. Nyala matanya sangat gelap. Oh, tidak. Aku akan mati sekarang. “Baiklah kalau itu maumu. Tapi, jangan menyesal nantinya,” bisiknya pelan.

Dia merobek kain tipis di tirai kamarku, dan mengikatnya erat di kedua mataku. Tidak hanya mataku, tetapi tangan dan kakiku pun juga diikat olehnya. Gelap. Aku tidak bisa melihat, maupun bergerak sedikitpun.

Ah. Aku ingat. Aku ingat sekarang. Ken sangat terobsesi padaku. Dia sangat mencintaiku. Sangat. Dan aku tidak tahu hal itu sebelumnya.

“A—apa yang kau lakukan?” tanyaku sedikit gemetar.

Aku dapat mendengar dengusan napasnya, “Membuatmu mau memakan makanan ini. Kau tahu, membuang-buang makanan itu sangat tidak baik.”

Dia mencengkeram pipiku, agar mulutku terbuka. Selanjutnya, yang kurasakan adalah tekstur kasar dari roti gandum dan pedasnya daging di dalamnya. Makanan berat itu menembus kerongkonganku dengan bulat-bulat, tanpa kukunyah. Aku terbatuk-batuk, makanan itu sangat menusuk. Aku memang tak bisa melihat apapun, tapi aku tahu, mulutku mungkin sudah belepotan makanan sialan itu. Aku boleh saja disiksa, tetapi aku tidak bisa menyiksa diriku dengan makanan yang kubenci. Oh, aku merasa mual sekarang.

“He—hentikan...” rintihku.

“Oh, mengapa? Bukannya kau ini maso? Seharusnya kau suka kusiksa seperti ini, kan?” sahut Ken.

“Aku—ak—aku, aku  tidak bisa...”

“Apa? Aku tidak dengar.”

“Uhuk—makanan ini—uhuk...”

“Lanjutkan. Apa yang akan kau katakan?”

“A—aku tidak bisa menelannya—uhuk!”

“Ini hanyalah makanan, Rachel.”

“A—aku tidak bisa makan makanan berkarbo—uhuk—hentikan...”

Aku merasa rambutku ditarik kencang. Sakit, aku suka. Tetapi, aku tidak bisa menahan rasa anehku saat Ken tetap menjejali makanan itu ke mulutku. Aku benci makanan itu. Aku tidak bisa memakannya. Itu sangat menjijikkan. Menjijikkan.

Aku bisa merasakan deru napas Ken, “Kuperingatkan satu lagi, Rachel. Kau belum pernah mengetahui ini sebelumnya. Aku adalah kanibal.”

Aku tersentak, tubuhku menegang. Laki-laki ini kanibal? Ken seorang kanibal? Tidak mungkin. Tidak, aku tidak percaya.

“Bohong..”

“Terserah kau percaya atau tidak. Tapi, jika kau tetap menentangku, aku bisa memakanmu. Saat ini juga.”

Kurasakan tangan Ken memegang tanganku. Diusapnya jari-jariku lembut. Aku memekik saat jariku merasakan rasa lembut, tajam, dan basah. Oh, Tuhan, dia memasukkan jari-jariku ke dalam mulutnya. Sesuatu yang tajam menggores jariku, dan aku berteriak. Dia mengigitnya. Menggigit jariku. Perih, sakit, dan menyenangkan.

“Jika kau masih melawan, jari-jarimu ini akan putus, Rachel..” ucapnya pelan.

Aku yang tidak bisa melihat apa-apa hanya meronta. “Diam! Jangan bergerak!” teriak Ken padaku. Aku menuruti perkatannya dan diam dengan gemetar. Orang ini bisa memakanku.

“Bagus, anak pintar.”

Dia mengusap lembut kepalaku, kemudian menariknya dengan kasar. Disentuhnya bibirku dengan lembut,  sementara aku hanya bisa menahan napas, menunggu apa yang akan dilakukan selanjutnya. Membunuhku? Menelanku hidup-hidup?

“Kau sangat cantik saat tidak berdaya seperti ini...” ucapnya pelan.

Pekikan kecil muncul dariku saat benda lembut dan basah menyentuh bibirku. Dia kembali menciumku. Aku meronta ingin melepaskan ciuman itu, tetapi tarikan kasarnya di rambutku membuatku merintih dan membuka mulutku. Aku merasakan sebuah benda kecil melewati tenggorokanku.

Sebuah pil.

“Kembalilah tidur dengan tenang...” ujarnya pelan, dan aku pun tertidur.

overLoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang