4

45 11 0
                                    

“Hai, kita bertemu kembali.”

Aku terdiam menatap wajah asing di depanku. “Siapa kau?”

Pria di depanku tersenyum manis, dan dia mengelus lembut kepalaku, “Kita pernah bertemu 16 tahun yang lalu.”

"Kau pikir aku bisa ingat?" sanggahku.

Dia terkekeh, kemudian wajahnya menatap intens kearahku.

"Mau bermain bunuh-bunuhan bersama di taman?"

Mataku terbelalak, “Tidak mungkin. Kau, Ken?”

Dia kembali tersenyum lebar, “Kau masih mengingatku rupanya.”

Ada rasa lega menyelimuti hatiku. Dia ternyata masih baik-baik saja. Wajahnya sedikit berbeda, dengan rahang yang semakin tegas dan mata yang sedikit tajam. Kulitnya setengah kecoklatan, dan wajahnya masih kental dengan Jepang. Sikap yang ditunjukkannya adalah sikap ramah, seperti dahulu.

“Bagaimana kau bisa ada disini?” tanyaku padanya.

“Aku hampir mati saat seseorang menikam dadaku tiga hari yang lalu.” Ujarnya, masih dengan senyuman lebarnya.

Sesuatu terlintas di pikiranku begitu saja, “Apakah kau dipenjara sejak usiamu sepuluh tahun?”

Pria di depanku itu berhenti tersenyum. Matanya menatapku tajam, dan hal itu sedikit membuatku terkejut. Tapi, kemudian dia menunjukkan senyuman tipis kepadaku.

“Benar. Kau tahu tentang hal itu, ya?” ujarnya ramah.

Aku mengangguk pelan, “Apakah kau sudah bebas?” tanyaku.

Dia mengangguk ringan, “Sudah, lima hari yang lalu.”

Aku diam tanpa berkata-kata lagi. Kurasa, dia marah dengan janji yang kubuat. Jujur saja, dia sudah menepatinya dan masuk ke tahanan, sementara aku masih belum menepati janjiku sendiri. Aleah dan Richard masih sehat saja, dan aku belum menyentuh mereka sama sekali. Aku sangat malu berhadapan dengan Ken.

“Lantas, mengapa kau juga bisa dirawat disini, Rachel?” tanyanya.

Dia menyebut lembut namaku, membuatku sedikit kalap saat menjawabnya, “A—aku, maksudku, aku terkena parang.”

“Oh, ya? Sudah menemukan pelakunya?”

Aku mengangguk, “Hm.”

Dia kembali bertanya, “Siapa?”

Dengan perlahan, aku menunjuk diriku sendiri. Dan hal itu membuat kedua bola mata tajam Ken melebar. “Kau? Kau yang melakukannya?”

Aku mengangguk kembali, “Aku masih masochist.”

Dia sedikt terkejut, “Jadi, kau menusuk dirimu sendiri dengan parang?”

“Yah, begitulah.”

“Rachel, aku tahu bahwa aku tak pantas berbicara seperti ini padamu, tetapi kau harus segera disembuhkan. Itu sudah sangat parah. Aku sudah tidak sadistic lagi, aku sudah sembuh.” Ujarnya pelan.

Aku menunuduk lesu, sedikit tertegun dengan kata-kata Ken. “Aku tidak bisa, Ken. Ini adalah cara terbaik agar aku bisa tahu rasanya bahagia dan kepuasan. Selama ini, aku tidak pernah tertawa. Dan itu sedikit memuakkan. Tetapi, dengan menyakiti diriku sendiri, aku bisa tertawa dengan sesuka hatiku.” Sahutku.

Tiba-tiba, Ken mengelus kembali kepalaku dengan lembut. Ditangkupnya wajahku, hingga bertatapan mata dengannya. Dia tersenyum, senyum yang bagiku sangat tulus dari hatinya.

“Kau bisa. Aku bisa melakukannya, karena itu aku yakin kau juga bisa. Percaya padaku.” ujarnya.

Aku menggeleng, “Tidak. Maksudku, aku belum memenuhi janjiku padamu. Aku belum melenyapkan mereka berdua.”

“Lupakan janji itu. Aku tidak ingin kau menyesal.” Gumamnya.

“Aku merasa ada yang ganjil jika aku belum membunuh mereka.” Seruku.

“Tidak, jangan lakukan hal itu.”

“Apa yang ada di pikiranmu saat kau dituduh memiliki kelainan aneh?” tanyaku sarkastik.

“Aku akan berusaha memperbaiki diriku.”

Aku mendecih, Ken sangat membosankan, “Jangan bohong. Aku tahu, kau tidak seperti itu.”

Pria itu menggeleng, “Aku sudah berubah, Rachel.”

“Bohong.”

“Tidak, aku—”

“BOHONG!! KAU BOHONG! KAU PENGECUT! KAU PENGKHIANAT!!”

Aku meneriakinya dengan kencang. Mataku berkaca-kaca. Dia tidak seperti Ken yang kukenal. Dia begitu asing, dia orang asing.

Ken memegang kedua pipiku, “Dengar, Rachel. Aku tidak berbohong padamu. Kau harus tahan dengan semua ini, mereka orang tuamu. Kau harus cepat disembuhkan. Aku yakin, kau akan segera kembali normal.”

Dengan kasar, kutepis kedua tangannya, “Aku tidak tahan, Ken! Mereka pergi dari rumah, dan mengundang seorang dokter psikolog untukku. Dan apa yang terjadi? Dokter itu mengataiku memiliki kelainan! Apalagi aku juga dibilang manusia rusak! Oh, ya Tuhan! Oke, aku tidak sakit jiwa! Aku normal! Aku sudah normal!” bentakku.

“Kau harus menurutinya,”

“Tidak mungkin! Aku tidak mau dirubah! Ini jati diriku yang sesungguhnya!” teriakku.

Ken berusaha menenangkanku, tetapi aku tetap berontak. Oh, ini benar-benar sialan. Dimanakah sosok pendukungku yang dulu? Dimana teman pertamaku yang dulu? Mengapa sekarang aku yang harus dipaksa berubah? Mengapa Ken juga menyuruhku seperti itu? Mengapa?

“Rachel? Ada apa?!” panggil seseorang yang masuk  ke ruanganku dengan wajah khawatir.

Itu dokter sialan. Christian.

“Apa yang kau lakukan disini, dokter brengsek!? Jangan berani menatap wajahku! Aku tidak membutuhkan simpatimu, yang hanya sebuah kedok belaka. Kau ingin aku menjalani terapi?! Jawabanku tidak! Aku tetap menolak apapun perintahmu!” pekikku.

“Apa maksudmu? Aku tidak—”

“Kalian semua pergi! Pergi sekarang dari hadapanku!!”

Aku dapat merasakan tatapan cemas Ken dan Christian, tetapi hal itu tidak membuatku luluh. Aku benci dengan seluruh umat manusia di dunia ini. aku bagaikan dikucilkan di dunia ini, tdak ada yang mau memahamiku. Aku tidak mau merubah diriku! Aku tidak mau!!

Christian dan Ken berjalan keluar dari ruanganku. Air mata yang tidak pernah menetes, kini tumpah begitu saja. Ini semua terjadi karena aku belum melenyapkan Aleah dan Richard. Jika aku melenyapkannya, maka Christian tidak akan datang dan Ken akan tetap seperti dulu. Dia akan berlari bersamaku, dan hidup dengan bebas tanpa kekangan dari sebuah keluarga.

Kututup seluruh tubuh dan wajahku dengan selimut. Dan aku menangis sejadi-jadinya.

Vote? Comment?

overLoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang