Lo pada tebak, apa yang gue temuin di papan pengumuman sekolah waktu pagi-pagi gue dateng ke sekolah? Oya, gue belom kasih tau ya. Ada satu kertas selebaran, gede banget, nemplok di situ nutupin pengumuman lainnya. Kertas selebaran yang pas gue baca isinya adalah gosip murahan gak penting yang abal-abal banget. Yap, gosip jadiannya gue ama Mikha. Sampah banget tuh selebaran.
“SIAPA YANG NEMPELIN INI DI SINI?!” seru gue nanyain semua anak yang tadi juga lagi ngeliatin tuh selebaran. Gak ada yang ngaku, tepatnya gak ada yang mau. Iyalah dodol, maling ngaku mah penjara penuh coy!
“GUE ULANG SEKALI LAGI! SIAPA YANG BERANI-BERANINYA NEMPEL INI DI SINI!?” Kali ini suara gue lebih gue gedein. Cih, masih gak ada yang mau ngaku. Liat aja, sampe gue nemuin yang masang selebaran itu, bakal gue masak idup-idup. Eh gak ding, bercanda haha. Tapi serius, gue kesel nih. Kalo Erick sampe baca, bakal mampus gue ketauan pelukan kemaren. Masalahnya di tuh selebaran ada foto gue lagi pelukan sama Mikha, pose kemaren itu loh. Tersangka yang sangat mungkin dalam kasus ini hanyalah Adrian. Tapi mana mungkin si mahkluk itu masih berani dateng ke sekolah? Pengecut banget gitu.
“Lo kenapa, Rian?” tanya Mikha yang kayaknya baru aja dateng dan ngedenger gue teriak-teriak. Dia berusaha ngeliat kertas selebarang yang udah gue cabut dari papan pengumuman, tapi gak gue kasih. Gile, bisa mencak-mencak si Mikha.
“Ihhh, itu apaannn, gue mau liat dongg!!” rengek Mikha sambil berusaha mengambil kertas tersebut. Tapi gue lebih pinter dong. Gue memanfaatkan badan tinggi gue di saat-saat begini harus dengan baik. Gue angkat tinggi-tinggi itu kertas supaya Mikha gak nyampe, berhubung badan dia kontet.
“Ambil kalo bisa ya, Neng.” goda gue yang alhasil membuat Mikha monyong-monyongin mulutnya. WAHAHAHA! Lucu banget sih dia, ngegemesin.
“Apaan?” Tiba-tiba Erick muncul juga dan ngambil kertas itu dari tangan gue. Oh damn! Gimana gue bisa lupa ya, ckck. Kalo si Mikha udah dateng pasti Erick juga. Si Mikha kan tiap hari pulang pergi nebeng Erick. Sebenernya dia ada yang anter, tapi demi alasan kebersamaan dan kedekatan –bahasanya Mikha emang rada lebay— dia mau berangkat bareng gue sama Erick. Biasanya sih gue ikutan nebeng –walaupun gak sesering Mikha—, tapi hari ini gue lagi pengen bawa motor, jadinya gak ikut mereka deh.
“Apaan sih itu??? Apaan???” Mikha ikut nimbrung membaca kertas itu dengan Erick. Kemudian mereka berdua terdiam, dan ekspresinya –terutama Erick— jadi serius.
“Itu gue juga gak tau siapa yang nempel di papan itu, serius!” Gue berusaha bela diri di depan Erick. Kan emang bener, gue gak tau menau tentang kertas itu.
“Asdfghjkl banget! Apa-apaan tuh berita! Siapa yang nulis coba?!” protes Mikha sambil teriak-teriak gak karuan. Tanggepan gue sama dia emang sama wkwk, sehati. Mata gue beralih ke Erick. Dia masih diem megang kertas itu, kayaknya sih dia baca berulang-ulang. Plis, Rick, percaya gue! Kemudian gak lama, dia balikin kertas itu ke gue tanpa ngomong apa-apa dan langsung jalan balik ke kelasnya. Oh, come on, gawat nih!
***
Erick
Setelah ngebaca kertas selebaran yang tadi dipegang Rian, kepala gue jadi terus mikir yang aneh-aneh. Gue ngerasa tiba-tiba logika gue menguap sekejap, dan hati gue rasanya nyuruh gue buat pertimbangin tawaran Niken. Gue ngerasa… Rian udah terlalu curang, dan gue terlalu baik sama dia selama ini. Gue kayak udah dibodohin…
***
Mikha
“Sedikit lagi! Ayo Mikha kamu pasti— Arghh!” Uhh! Pak Harris berisik sekali ah. Sudah tau aku hari ini sedang tidak konsen, malah disuruh ambil nilai senam ritmik. Memang sih yang diambil hanya split saja, karena yang dipelajari hanyalah kelenturannya. Melatih tubuh agar lentur kata Pak Harris. Ngomong-ngomong, memang untuk urusan olahraga aku sangat jago, tapi untuk olahraga yang penuh kelenturan dan keindahan ini jangan harap aku bisa. Bisa dibilang aku payah sekali dalam split.
“Kamu ini ya, bener-bener. Bapak mau ngasih nilai berapa coba buat materi ini? Split aja kamu gak bisa. Senam ritmik itu juga olahraga, Mikhaaa…” ujar Pak Harris menasehatiku. Suara cemprengnya benar-benar hampir membuat kupingku budek.
“Sekali lagi!” perintahnya. Dengan nurut, aku langsung kembali mempersiapkan posisi split. Uhh, bagian yang paling sulit adalah melakukannya. Ngomong sih gampang, Pak, coba aja sendiri. Duhh, pahaku bisa bengkak kesakitan nih. Oke, sedikit lagi, ayo…
“Aww!” seruku langsung, begitu sadar bahwa kakiku jadi benar-benar sakit. Sepertinya karena terlalu memaksa meluruskannya. Kurang latihan sih ini, ck.
“Kaki kamu kenapa lagi? Masih kuat gak?” tanya Pak Harris dengan khawatir. Aku mengangguk sambil memegangi pahaku yang terasa sakit, meskipun aku sudah tidak melakukan split lagi. Mungkin bengkak, sepertinya sih.
“Kamu sih, daritadi gak konsen! Harusnya kamu itu konsen, jadi bengkak kan.” omel Pak Harris, kemudian dia memanggil beberapa anak untuk membawakan kompres es batu untukku. Aku memandang sebal si guru cempreng satu ini. Mana ada hubungannya konsen gak konsen sama kaki bengkak gara-gara split??? Itu kan gara-gara Pak Harris nyuruh saya ngulang melulu!, gerutuku dalam hati. Kalau Pak Harris sampai mendengarnya sih, bisa-bisa aku digoroknya. Hahaha, sedikit lebay ya.
“Hmm… Mikha… Kamu bisa kompres sendiri gak? Bapak gak mungkin kan kompresin paha kamu? Nanti dikira idung belang lagi.” Ucapan Pak Harris membuyarkan lamunanku. Ih, nanti pahaku ternoda lagi kalau disentuh Pak Harris. Lebih baik kukompres sendiri deh. Kucoba mengompres pahaku, dengan asal. Iya, aku asal taro esnya wkwk. Habisnya aku tidak tau caranya mengompres.
“Lo itu bener-bener ngerepotin.” Tiba-tiba seseorang datang dan menggendongku ala tuan putri. Itu loh, yang gendongnya di depan. Erick?
“Lo…Lo ngapain??” tanyaku dengan kaget. Ya kagetlah, wong aku langsung digendong tanpa bilang-bilang dulu. Di depan banyak orang lagi wahaha. Jadi gede kepala kan.
“Kaki lo sakit kan? Gue mau bawa lo ke UKS.” ujar Erick dengan tenang. Benar saja, ia memang membawaku ke UKS. Ketika kami sampai di UKS, guru yang bertugas sedang tidak ada.
“Lagi ke toilet kali gurunya. Gue bisa kok kompres doang.” Kemudian aku mencoba mengambil kompres yang tadi sudah dibawakan Pak Harris, namun Erick lebih cepat. Tangannya mengambil kompres itu dan mulai mengompres pahaku.
Harusnya di saat-saat seperti ini aku marah karena ia dengan sengaja menyentuh pahaku, walaupun hanya untuk mengompres, tapi entah kenapa aku membiarkannya. Aku memandang Erick dengan seksama. Dia memang dewasa. Terkadang aku berharap kami lebih dari sekedar sahabat. Aku sangat berharap kami lebih dari itu.
“Kenapa lo liatin gue terus?” Pertanyaan Erick mengagetkanku. Erick menyadari bahwa sedaritadi aku memandanginya? Ya ampun, malunya.
“Gak kok.” jawabku berbohong.
“Bohong.” ujarnya sambil mengangkat kepalanya menatapku dengan tajam. Aku ini memang tidak bisa berbohong di hadapan Erick ya, ckck. Kemudian, aku tersenyum.
“Rick, kalo misalnya gue bilang gue suka sama lo, lo percaya gak?” Tiba-tiba saja semua kata-kata itu meluncur dari mulutku. Entah di mana kesadaranku, seakan-akan mulutku berbicara tanpa diperintah.
“Percaya.” Balasan Erick mengagetkanku, lagi. Ap-Apa dia bilang? Percaya..? “Karena gue juga suka sama lo.” lanjutnya lagi. Aku terdiam. Begitu terkejut. Ba-bagaimana ini..? A-Aku…
“Cieeeee!!! JADIAN! JADIAN! JADIAN!” Tiba-tiba seseorang berteriak seperti itu hingga semua anak yang berjejer di depan UKS ikut berseru seperti itu. Rupanya sedaritadi mereka sudah menontoni kami, entah kenapa. Kulihat di depan UKS begitu ramai, ada Pak Harris juga. Mungkin tadinya mereka khawatir aku akan diapa-apakan oleh Erick. Dan ngomong-ngomong, sepertinya bel istirahat sudah dibunyikan. Ya ampunnn, sekarang aku harus bagaimana..???
**********************************************************************
Makasih buat readers yang masih baca trus vote trus comment wkwk Vommentnya bener-bener berarti buat gw! ;;) Ngomong-ngomong rencananya ini cerita mau ganti judul, kira-kira judul apa yang cocok ya?? Thx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bestfriend or..?
Teen FictionApa yang akan kalian pilih? Cinta? Sahabat? Status? Atau... "Aku ingin persahabatan kami langgeng sampai selama-lamanya. Kami bertiga. Seperti akhir di setiap cerita dongeng yang pernah kubaca, together, happily forever after." -Mikha "Menurut gue...