“Apakah kau yakin akan melakukannya ?” kata seorang lelaki renta yang duduk di kursi goyang di temani cemilan sore berupa roti dan selai kacang.
“kau tidak lihat kesungguhan yang ada di wajahku ? aku seorang pengacara terkenal, sudah ratusan kasus yang aku menangkan” balas anaknya yang tampan dibalut setelan jas hitam dengan dasi kupu-kupu berwarna merah.
“Kali ini berbeda nak, kau tidak patut membelanya !” lelaki tua itupun mencoba berdiri walaupun begitu susah bagi dirinya untuk menggerakan kaki kanan yang telah lumpuh akibat strok itu.
“Semua sama saja, bagi seorang pengacara, client tetaplah clie---“
“Tidak anak bodoh, dia berbeda ! dosanya tidak termaafkan lagi, aku tidak membesarkanmu untuk menjadi antek para iblis senayan itu !” potong sang Ayah yang kini telah berdiri sempurna dengan tongkat yang selalu ia genggam di tangan kirinya.
“Kita butuh uang ayah, hati nurani dan moral saja tidak bisa menyembuhkan penyakitmu yang menahun” Adam meneguk segelas wine kemudian menatap jijik ayahnya yang kurus berlapis kulit keriput itu.
“Aku rela mati, daripada harus melihat ana-ku berjuang demi para koruptor gila” sang ayah telah duduk kembali, terisak akibat ulah sang anak yang tidak mempedulikan nasehatnya sama sekali.
“Hapus air matamu Ayah ! kita tidak sedang berlakon saat ini, jangan bersikap seperti para mahasiswa cengeng itu”
“Cengeng ? apa maksudmu ?”
Adam dengan sombongnya melepas jas hitam yang sedari tadi membuat dirinya gerah, kemudian menatap hina lelaki tua bangka yang tersiksa atas batuk ganas yang ia derita.
“Lihat dirimu ? umurmu bahkan tidak lama lagi, aku tidak mau gelar S2-ku di inggris akan sia-sia ketika aku harus turun ke jalan dan mengemis rezeki seperti yang mereka lakukan”.
“Kau tidak perlu seperti mereka, kau hanya seorang gadis yang selalu bersembunyi di balik ketiak para penguasa”
“Apa kata mu ? terusalah ! kau dan mahasiswa-mahasiswa itu, berjuang untuk menurunkan dia dari singgasananya, itu hanya akan sia-sia, karena aku, Adam prayoga, akan menguatkan cengkramannya di bumi pertiwi”
Adam pergi meninggalkan ayahnya yang hidup kesepian di panti jompo. Tidak ada lagi sanak keluarga yang merawat lelaki tua itu. Hanya adam yang hilur mudik, datang dan pergi dengan segudang ceritanya menangani kasus korupsi di negeri ini. Bukan sebagai pembela kebenaran atau kesatria pelindung umat, tetapi advokat busuk yang menjadi garda terdepan pelindung kaum borjuis.
Dua tahun berlalu, tidak terdengar kabar dari sang anak. Tidak ada lagi obrolan ringan bersama sang pengacara hebat. Hari-hariya kini di temani selembar surat kabar yang memperlihatkan sang presiden terbebas dari segala tuntutan.
Amuk masa terjadi di mana-mana, kerusakan fasilitas publik menjadi pemandangan yang menghiasi sudut kota jakarta. Tidak ada lagi toleransi, tidak ada lagi sikap apatis, pemuda kini marah dan mengincar para pion sang jendral. Asisten, bawahan, kaki tangan, kerabatnya menjadi sasaran pelampiasan kemarahan. Apa yang terjadi di negeri ini ? mengapa hukum yang menjadi aturan kita bernegara, malah tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Apa daya sang pengacara, saat lidahnya yang lentur berhasil memenangkan penjahat, ketika kemampuannya beretorika berhasil membebaskan para politikus kotor dari balik jeruji, membuat dirinya diculik dan dianiyaya bagai kambing sembelihan. Adam prayoga, ditemukan tewas penuh luka tusuk di ruang tamu rumahnya sendiri.
“karma itu ada nak ! karma itu nyata ! ayah sudah bilang, jangan berteman dengan setan ! karena mereka akan lari saat kau sengsara” Ayah adam menangis tersedu-sedu diiringi teriakan kemarahan yang memilukan hati tiap insan yang mendengarnya.
Manado, 31 Mei 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen 2016 - "Keresahan Hati"
Short Story"Hidup setahun di Bumi tidak selalu bersuka ceria, kadangkala kisah dibumbuhi ironi, dan dari pada mengumbar hujat dan menambah gila, tulisan jadi cara jitu menampung resah" - A.G -