7. MENOLAK PARNO

58 9 0
                                    

Siang itu Baharudin, seorang ulama besar dsri tanah jawa, pusing tujuh keliling memikirkan anak perempuannya yang akan, bahkan telah memadu asmara dengan cicit seorang aktivis kiri yang bisa dibilang banyak berperan pada gerakan pemberontakan tiga puluh september. “Demi Allah ! Darah para kyai dan santri akan mendidih, jika aku sampai memiliki menantu seperti itu”.

“Gusti Allah maha mengetahui, hati ini masih luka, atas dibantainya sesepuh-sesepuh kita ! kaum kiri sangat berdosa kepada ki—“

“Bukan kita cuman kita syamsul ! Tapi juga negara ini !” potong Baharudin terhadap perkataan koleganya itu.

Baharudin mondar-mandir di ruang tengah tanpa mempedulikan para ustad dan kiyai yang menatap baharudin dengan wajah serius, berharap ia akan mengeluarkan keputusan yang tepat, terkait hubungan anaknya dengan cicit PKI tersebut.

“Hilangkanlah kekhawatiranmu itu Baharudin ! kau bahkan belum bertemu dengannya, entah bagaimanakah sikap dan rupanya, setidaknya cobalah untuk mengenalnya”

“Hallaaaa aku tahu siapa mereka, apa yang akan mereka lakukan, dan apa rencana busuk mereka, sekali lagi, kekuasaan, kekuasaan Ridwan !” teriak Baharudin kepada salah satu anggota majelisnya yang mencoba untuk mengajak Baharudin untuk mendinginkan kepala.

“Mereka ? Apa maksudmu mereka ?”

“PKI, Komunis, marxis, dan apalah sebutan untuk golongan kiri” jawab Baharudin ketia seorang perwira angkatan darat bergabung bersama mereka, ditemani Aisyah, anak satu-satunya Baharudin, “Siapakah ananda yang baru datang ini Aisyah ?”
“Dia sofyan, pria yang kukatakan akan melamarku ayah”

“Jijik ! usir pembunuh itu dari rumahku ! kau masih punya muka yah, menggenakan seragam musuhmu, tidak malu dirimu telah membantai para jendral”

“Aku ? Sekali lagi aku ? memang benar aku adalah cicit seorang petinggi PKI tapi---“

“Maka enyalah ! Lihat foto-foto kyai yang terpajang di dinding ini” Baharudin menatap Sofyan layaknya singa yang siap menerkam rusa kecil yang telah mati langkah, “Kau anak durhaka ! Kau yang telah membunuh mereka”

Baharudinpun menghampiri dengan anak muda yang telah tertunduk lesu atas makian yang di lontarkan terus menerus oleh Baharudin, “Aku tidak sudi punya menantu sepertimu !”

“sepertiku ?”

“Jelas ! seorang pengkhianat negara !”

“Maaf paman, entah hatimu telah buta, tidakah kau melihat seragam prajurit negeri yang aku kenakan, dan demi Tuhan, aku mengahbiskan masa remajaku di padepokan, Allah, Tuhan kita menilai segala sesuatu berdasarkan apa yang kita lakukan, bukan atas masa lalu yang digoreskan tangan-tangan keji kakek dan nenek kita”

“Diam bocah ! Jangan mengajarkanku tentang Agama, aku seorang ulama besar” dengan penuh kebencian, Baharudin mengangkat tangan, bersiap untuk memberikan tamparan keras ke wajah Sofyan.

“Hentikan Bung ! Jangan sampai nuranimu digelapkan oleh dendam, jangan kau aniyaya orang yang tak berdosa hanya karena pola pemikiran yang sempit” Ridwan dengan sigap menahan lengan Baharudin yang gemetar akibat darah yang telah mencapai ubun.

“Tapi dia komu—“

“Kaulah neo-komunisme yang sebenarnya, mengkotak-kotakan masyarakat dengan strata sosial, menganggap diri paling sempurna, mudah terprovokasi dengan kesalahan masa lalu, Istigfar Baharudin, aku lantas tidak tega jika kau memukul wajah seorang putra pertiwi, yang dengan tanggung jawabnya yang besar terhadap negara, masih bersemangat untuk meminang anakmu” Baharudin hanya tertunduk malu mendengar wejangan yang disampaikan sahabatnya itu.

“Astagfirullah Haladzim” Baharudin berbalik sambil mengelap air mata yang telah membanjiri pipinya yang keriput.

Demi menghentikan perdebatan antara dua orang kiyai sekaliber Ridwan dan Baharudin, Sofyan kini berlutut, melepaskan baret hijau yang sekarang ia letakan di dada “Jika ini yang kalian mau, maka atas dosa kakek dan neneku untuk bangsa ini, dan untuk kalangan pesantren terlebih khusus, aku memo—“

“Sudahlah nak ! Berdirilah !” Sofyan merasa heran dengan perubahan sikap yang di tunjukan oleh Baharudin. Pria tua itu kini menatap Sofyan dengan penuh empati, “Aku yang seharusnya minta maaf nak, bukan dirimu, bukan dirimu yang seharusnya mengaku dosa atas apa yang dilakukan kakekmu, dan bukan kepada kami seharusnya mereka meminta maaf, siapapun pelaku dan korban tragedi berdarah itu, mereka telah tiada, aku menyesal telah membawa kembali duka di negara yang penuh suka ini, maafkan aku ” Baharudin kemudian memeluk calon mantunya itu diringi tangis penyesalan yang tulus dari dalam hatinya.

“Bukan siapa dirikita, terlebih lagi masa lalu kita yang membuat kita berarti di mata Allah, tetapi apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa dan agama kita, jadi bagaimana Ridwan ? apakah kau bersedia menerima Sofyan menjadi menantumu” tanya Ridwan yang diiringi persetujuan darinpara kiayi yang hadir pada saat itu.
“Siapa yang akan menolak seoorang Da’i dan Tentara untuk menjadi menantunya” jawab Baharudin mengiyakan.

“Allhamdullillah” teriak segenap manusia yang berada dalam ruangan tersebut, terlebih Aisyah yang begitu gembira karena sang ayah telah merestui jalinan cintanya dengan pria pilihan hati tersebut.

Manado, 21 Maret 2016

Antologi Cerpen 2016 - "Keresahan Hati"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang