Tubuhku bergerak begitu cepat bersama kilatan cahaya yang menyilaukan mata. Aku diam dalam keraguan dan ketidakpastian iman. Dimana aku berada ? apakah lapisan-lapisan langit yang aku lewati tadi telah menghantarkanku menuju yang maha kuasa ? Atau ini hanya ilusi ? khayalan yang terasa begitu nyata, hingga keringat serta air mata kini berpadu menjadi cairan hitam bernama kesengsaraan. Yah, kesengsaraan, yang meski akal berkata ini mimpi, nurani menepis dan bilang aku sudah mati.
Malaikat, bidadari, dewa, peri atau apapun sebutan manusia untuk mereka. Aku tidak peduli lagi. Tidak etis bagi ruh untuk mendefinisikan dan membeberkan teori mengenai wujud dan bentuk, toh aku tidak lagi berwujud. Aku hanya tinggal dendam dan luka yang hilir-mudik di alam baka. Mencari alasan mengapa aku harus berakhir dengan tegukan racun dalam lambungku.
Macam-macam rupa mahluk yang berpapasan denganku disini. tidak ada yang tersenyum, bahkan terkesan jijik untuk menyapa. Seringkali ku dengar wanita-wanita telanjang dengan sayap putih di punggung mereka berkata "TOLOL! DASAR TIDAK TAHU BERTERIMAKASIH!", sedangkan pria-pria bertanduk dengan kemaluan raksasa yang bergelantungan kesan-kemari tak henti-hentinya memujiku, "ANAK PINTAR! SELAMAT BERGABUNG". Entah bagaimana aku harus bersikap. Apakah aku harus berterimakasih atas pujian laki-laki bertanduk atau marah atas makian perempuan bersayap itu.
Aku menatap ke atas, ada jalan terbuat dari cahaya yang selalu di lalui banyak orang. Ada paman, bibi, tetangga dan orang-orang yang kukenal. Wajah mereka bercahaya, tersenyum senang didampingi perempuan bersayap dengan gaun putih yang panjang menjulur kebawah hingga hampir mengenai batang hidungku.
"Ke mana mereka ?" malaikat tersebut hanya menoleh ke bawah kemudian kembali memalingkan wajah. Menuntun para ruh tadi dengan ucapan-ucapan lembut, setengah berbisik mesrah yang bahkan akupun ingin mengikutinya menuju sebuah pintu yang entah kemana.
"Jangan mimpi!" sapa ruh kurus, keriting dengan bola mata yang hampir keluar dari dalam rongga matanya, "kalau bukan kesana, yah kitanya disini".
Perkataannya membuatku melihat sekeliling. Kembali memastikan di mana aku berada sekarang. Akalku yang tak lagi terbungkus rapi didalam organ bernama otak hanya mengingat sebuah ruangan, kamar kos tepatnya, tempat diriku mengakhiri raga yang tak lagi terjamah kasih ini.
"Kasih ?" kini aku mengingatnya. Alasan Aku mendahului takdir Tuhan sebagai penentu ajal seseorang. Aku mengalahkannya. Sejenak aku tersenyum dan merasa berkuasa. Lalu kembali takut saat lidah api disekitarku menjamah kulitku.
"Panas !" memang benar apa kata Firman Tuhan. Tempat ini panas. Sebuah indikasi kuat dan memudahkanku mengambil kesimpulan di mana sekarang aku berada.
Hah sudahlah, Aku sudah terbiasa melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Biarlah para pendatang yang terus-terusan masuk kesini dengan sebab yang berbeda satu-sama lain menyesal, sedih bahkan menangis terseduh-terseduh. Aku tidak demikian, setidaknya aku harus mencari kambing hitam saat nanti Tuhan bertanya kenapa aku bunuh diri."Apakah kau tahu di mana Tuhan berada ?"
"Aku tahu! Tetapi aku tidak memberitahukannya padamu" Jawab lelaki kurus yang dari tadi berada di sampingku.
"Kenapa ?"
"Karena aku sendiri belum pernah bertemu dengannya"
"Siapa dirimu ?" kataku sembari menelanjangi tubuhnya lewat tatapanku yang penuh tanya.
"Aku adalah alasan dirimu kemari"
"Cinta ?"
"Iya aku adalah Cinta"
"Pembohong!" aku memasang wajah kaget tak percaya. Berlapis kaos yang telah meleleh perlahan akibat panas yang luar biasa, aku mencoba mendekat.
Memperhatikan rupanya yang seperti gelandangan tua, "Kenapa cinta berada di neraka ? dan mengapa rupamu seburuk ini ?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen 2016 - "Keresahan Hati"
Short Story"Hidup setahun di Bumi tidak selalu bersuka ceria, kadangkala kisah dibumbuhi ironi, dan dari pada mengumbar hujat dan menambah gila, tulisan jadi cara jitu menampung resah" - A.G -