Sore. Dengan awan yang dari tadi hanya mendung saja. “kapan hujan ?” batinku sebelum akhirnya melihat kembali arloji di lengan kananku. Aku menengadakan lagi pandangan, berjalan menelusuri koridor kampus yang sepi oleh celotehan mahasiswi serta tindak semi-anarki para mahasiswa yang terus bergelut dengan diskusi hangat tentang dosen yang semakin lama semakin otoriter.
Hanya angin sepoi-sepoi yang menerpa diriku sore ini. Sudah lebih dari se-jam menunggu marina, nama mahasiswi baru yang sukses menarik perhatianku sehari setelah masa orientasi selesai. Coba ku telusuri lubang hidung besar miliku, tapi tak satupun upil yang dapat kujamah.
“Hey i’m waiting, where are you ?” pesan singkat lewat Blackberry massanger terus ku kirim ke kontaknya yang tak kunjung mendapat balasan.
“Apa aku akan ke sana saja ?” bisik bagian lain diriku, menyuruh untuk segera menemuinya, menarik kerak baju wanita idamanku itu dan segera menendangnya keluar dari rapat yang menurutnya penting. Itu ide yang sangat tepat dilakukan oleh seorang pacar, atau paling tidak seorang teman dekat. Akan tetapi, aku hanya seorang pengagum, pria yang memanfaatkan basa-basi senioritas untuk mendapatkan perhatiannya.
Beberapa orang yang kukenal mempertanyakan perihal yang kulakukan. Menunggu ? bingung ? berpikir ? atau apalah yang mereka kira sedang aku kerjakan. Aku hanya membalas dengan anggukan ringan dan senyuman ramah kepada setiap orang yang menanyakan kenapa aku belum juga kembali ke kos-kosan.
Aku tidak cukup berani untuk menggungkapkan rencana besarku dekat dengan seorang mahasiswi baru bernama marina itu. Karena beginilah budaya timur, selalu membikin hal semacam itu menjadi sebuah olok-olokan. Aku tidak mau, marina akan canggung berbicara denganku jika teman-teman mulai menjadikan kedekatan kami sebagai bahan candaan. “Sabar !” aku mengelus dada yang hanya berbalut tulang dan kulit ini, sebuah bentuk tubuh proporsional seorang mahasiswa aktivis yang selalu jadi buronan aparat. “Toh dia pernah bilang kalau dia kagum padaku” tak sadar diriku berbicara sendiri, hanya jendela-jendela kelas yang menjadi teman ngobrolku sore itu.
Di ujung teras tempatku berdiri, akhirnya marina menunjukan wajahnya yang cantik jelita. Bukan dengan riasan wajah atau bodi aduhai, tapi kameja casual, celana jeans dan rambut pendek yang melengkapi penampilannya yang Tomboy. Ya itu dia, wanita yang sedari tadi kutunggu, gadis incaran para lelaki dan wanita seantore kampus., marina.
“Sorry kak tadi rapatnya molor jadi selesainya agak lama, yuk makan ! aku sudah lapar nih !” kalau saja ia datang hanya sendiri, sesuai janji dan prediksiku tentang perasaannya padaku, pasti aku akan segera mengiyakan ajakan itu. Tapi saat ini sungguh diluar ekspektasi, lima orang teman-temannya berbaris rapi disekelilingnya, bak bodyguard yang siap pasang badan tatkala marina dalam bahaya.
“Tapi bukannya kita akan makan berdua saja ?” gerutuku kesal, mengingat hal-hal diluar batas penalaran yang telah kulakukan saat menunggu dirinya. Bosan, lelah, jenuh bahkan pohon-pohon disekitar kampus telah menjadi temanku berimajinasi. Sial ! ini yang aku dapatkan, kencan yang aku rencankan semula menjadi ajang nongkrong mahasiswi-mahasiswi bau kencur ini.
“Iya kan, bukannya kita akan makan berdua saja ?” Aku kembali mengingatkan alasan mengapa aku bersedia duduk lama disini, menunggu dirinya sambil mengorek-ngorek kuku kakiku yang bau seperti tikus mati. Rupanya perkataanku membuat teman-temannya merasa tidak nyaman, mungkin merasa telah merusak agendaku bersama marina.
“Huuft daripada makan sendiri, lebih baik makan sama-sama, ayuk ka ! keburu malam, nanti ka Agung yang traktir !” benar pernyataan marina jika dicerna menggunakan logika, tapi tidak mengertikah dirinya, bahwa yang kumaksudkan adalah sesuatu yang berbau romansa. Apakah aku belum ada dihatinya ? hingga marina sama sekali tidak peka terhadap niatanku mengajaknya makan berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen 2016 - "Keresahan Hati"
Historia Corta"Hidup setahun di Bumi tidak selalu bersuka ceria, kadangkala kisah dibumbuhi ironi, dan dari pada mengumbar hujat dan menambah gila, tulisan jadi cara jitu menampung resah" - A.G -