1. TRAUMA

185 16 0
                                    

Apakah harus ? Pertanyaan itu selalu saja terbesit ketika aku sampai di sebuah gedung megah dengan kaum borjuis yang mengantri untuk mengisi buku tamu. Empat pasang pria dan wanita berjejer rapi, memberi ucapan selamat datang dengan penuh sandiwara dibalik topeng bedak meraka yang menipis akibat larut dalam keringat. Senyum dibalik lelah berdiri jadi modal mereka untuk makan gratis malam ini.

Pesta ini jadi ajang adu kaya antara para pemilik saham. Sedangkan pejabat publik malah berdiskusi ria tentang bagaima menggerogoti uang rakyat tanpa diketahui aparat hukum. Sebuah panggung drama yang komplit, nyata bahkan hampir tidak kentara kalo mereka sedang beradu acting. Musik sudah meriah, hidangan sudah siap. Tinggal langkahku saja yang berat untuk hadir di acara seperti ini.
Sekali lagi, apakah harus ? Pertanyaan yang pada ujungnya harus kuiyakan. Mengingat Jesika, gadis yang sangat kusayangi bersi- keras agar aku datang malam ini. Mungkin karena cintaku yang besar kepadanya, membuatku rela memakai setelan jas mahal, berhias, memotong rambut bahkan memakai wangi-wangian mahal yang ia belikan untuku.

Bukan karena aku kurang percaya diri atau menganggap diriku tidak pantas berpesta pora seperti ini. Toh sebagai seorang duta besar, aku sering diundang makan malam oleh pemimpin negara dimana aku ditempatkan. Hanya saja, setelah kembali ke sini, ke sebuah pesta meriah yang diselenggarakan di kota tempat aku mengenyam bangku strata satu dahulu, memungkinkan diriku untuk bertemu dengan para pria rupawan yang jadi virus penghancur setiap balok cinta yang aku bangun dengan susah payah.
Kakiku lumpuh seketika. Bagai tak ada lagi tulang penyangga yang menopang semangat mantan aktivis ini. Karena semangat juang yang aku miliki semasa kuliah, yang bagi dosen koruptor di kampusku dianggap sebagai Predator yang siap membawa mereka kebalik jeruji, luntur dalam hitungan detik saat hati ini patah, saat rasa ini terluka.

Dan malam ini semua itu akan terulang, aku dan mereka-mereka yang mencoba merebut Jesika dari tanganku akan berkumpul malam ini. Dibawah gemerlap lampu pesta yang panas, tambah lagi senyum mereka yang selalu tampak tak bersalah saat beradu jotos dalam pertarungan asmara dahulu.
Apalagi yang harus aku persiapkan ? otaku tidak lagi berpikir jernih sekarang. Teman-Teman kuliah, pejabat-pejabat lokal bahkan salah seorang menteri mencoba bertegur sapa, hanya dibalas oleh senyumku yang kentara sekali dibuat-buat.
Aku trauma bukan main, bahkan hingga saat ini, saat dimana aku telah mencapai puncak kesuksesan, citaku-citaku telah kugapai dan orang tuaku telah bahagia.
Memang semasa kuliah, Aku yang pernah terpilih sebagai presiden mahasiwa, dan Jesika yang pada masa itu menjadi direktur umum sanggar theater di kampus kami, sering umbar kedekatan yang bagi mahasiswa lain dianggap layak untuk dijadikan rolemodel sebagai pasangan yang tidak pernah menurun sedikitpun dalam soal organisasi dan prestasi.

Bayangan kecemburuan terus menghantuiku. Sudah berulang kali aku melewatkan kesempatan bersenda gurau dengan mantan dosen-dosen yang juga diundang pada malam ini. Aku berbeda dengan kebanykan pria, yang hanya tertawa dan memasang badan ketika pria lain mencoba mendekati gadis pujaannya. Bagiku diam dan menangis dalam hati adalah respon otomatis yang kulakukan saat Jesika didekati.
Sama halnya denganku, Jesika tidak seperti wanita pada umumnya. Yang menyerahkan segenap jiwa dan raga pada sang ksatria yang selalu siap siaga di sampingnya. Ia bangga ketika mahasiswa dikampus pada waktu itu, khusunya pria, banyak yang mengidolakannya. Memiliki banyak teman dan disayangi oleh orang-orang disekitarnya merupakan kebahagiaan tersendiri bagi gadis tomboy seperti Jesika, dan aku tak mungkin tega merenggut hal itu darinya.

Sebagai kesayangan banyak orang dan jadi teladan bagi junior-juniorya di kampus, Jesika merasa risih jika selalu disanding-sandikan dengan status pacaran, yang berarti ada seorang pria yang memiliki hak atas dirinya. Tapi hatiku tidak sekuat baja, keinginan menerima pilihan sang kekasih berbanding terbalik dengan rasa khawatir yang bagai penyakit ganas, kian tumbuh menjalar hingga mematikan tubuh Inang.

Antologi Cerpen 2016 - "Keresahan Hati"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang