4. Yang Tak di Sadari

13.5K 1.6K 128
                                    

Acara di rumah Tante Laras semalam menurut Iqbaal membosankan, terlebih karna ibu dan ayahnya masih belum saja akur saat Tante Laras membukakan pintu kamar untuk mereka.

Iqbaal menuruni tangga dengan malas, matanya masih sesekali mengerjap dan mulutnya terbuka lebar, menguap. Wajar kalau Iqbaal merasa ngantuk hari ini, semalam ia dan semua orang di rumah ini baru kembali dari rumah Tante Laras saat tengah malam, lalu setelah itu, ibunya memaksanya untuk belajar.

"Morning, Kakak," sapa Ina yang kini mendahului Iqbaal turun dari tangga menuju meja makan untuk sarapan.

"Hmm," hanya itu balasan adiknya.

Iqbaal menghela napas dan kembali melangkahkan kakinya menyusul Ina yang sekarang sudah sampai di anak tangga terakhir. Rasa kantuk itu masih menggelayutinya, tapi ia tidak akan pernah melewatkan satu hari pun untuk datang ke sekolah, dan alasannya tentu saja karna (Namakamu) Amelia Dianty. Karna alasan itu, Iqbaal tidak pernah bolos. Tapi, dia sering tidur di kelas saat guru menyampaikan materi pelajaran.

Iqbaal menaikkan salah satu alisnya dan reflek menutup mata Ina saat melihat Fakhri memberikan kecupan di pipi (namakamu) yang saat ini tengah membenarkan letak dasi.

"Kakak, ish...," desis Ina mencoba menyingkirkan tangan Iqbaal dari matanya.

"Oh, please, Pumpkin-Peanuts ini masih pagi dan bayi-bayi unyu ini butuh sarapan sebelum sekolah, mesumnya entaran aja kalo Iqbaal dan Ina udah berangkat." celetuk Iqbaal.

Mendengar celetukan itu, (namakamu) langsung mendorong dada Fakhri agar menjauh darinya. Dengan senyum kikuk, (namakamu) mengoleskan selai di atas roti Iqbaal dan Ina, lalu menuangkan susu putih segar ke dalam gelas Iqbaal dan Ina.

Fakhri mendengus kesal dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ia menatap Iqbaal dengan tatapan penuh ancaman mengerikan. "Udah ngeganggu, pake ngaku bayi lagi, bayi apaan segede bagong gitu?" cibir Fakhri, nada bicaranya penuh kekesalan.

Iqbaal menaikkan kedua bahunya tidak bersalah, menarik kursi dan mendudukkan Ina di sana. "Yang bikin Iqbaal dulu siapa? Daddy sama Mommy, kan? Kalo aku bagong, Daddy apa? Semar? Eh, Daddy kan krempeng, Daddy cocoknya jadi Petruk."

Fakhri mendekat pada Iqbaal dan memberikan satu jitakan gemas di kepala Iqbaal. Anak lelakinya yang menyebalkan. "Awas kamu kalo nanti ganggu Daddy sama Mommy lagi." Fakhri memperingatkan Iqbaal dengan nada ketus dan mata menyipit tajam.

"Udah-udah, ayo sarapan, nanti anak-anak terlambat." (namakamu) menengahi ketika melihat Iqbaal mulai membuka mulut dan bersiap membalas perkataan Fakhri lagi.

***

Iqbaal bersama Ajil dan Karel, berjalan (sok) cool di koridor sekolah, sesekali mereka bersiul genit jika ada gadis yang cantik, entah itu senior atau junior mereka. Yang pasti, cewek itu cantik.

"Nih, buat lo berdua." Iqbaal menyerahkan satu kantong kresek hitam pada Karel dan Ajil.

Ajil yang paling bersemangat menerima bungkusan kresek itu dan dengan brutal ia merobek kresek hitam itu yang membuat isinya malah berhamburan. Mie lidi rasa pedas.

Terdengar helaan napas kesal dari Ajil dan Karel melihat isinya. Kenapa harus selau mie lidi pedas?

"Kenapa mukanya pada nggak enak? Nggak suka? Itu belinya pake duit tabungan gue." tanya Iqbaal.

"Pake duit lo sih pake duit lo, tapi yang lain napa? Masa tiap beliin jajan selalu mie lidi yang lo beliin." jawab Ajil datar.

"Yang penting gue ikhlas, lo bisa pesta mie lidi pedas sampe mulut lo dower di kostan Karel. Soal minum, ntar gue beliin gelasan di kantin satu-satu."

Bubi & Pluto [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang