[2] Pemilik Kartu

162 45 17
                                    

Indonesia, a few years after.

Aku menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan, sambil berjalan mencari halte bus. Salahkan cerebrum karena lupa di mana letak pastinya. Tidak lucu, seorang murid pindahan terlambat di hari pertama sekolah, apalagi pelajar kelas XII sepertiku.

Menggaruk tengkuk yang tidak gatal, tiba-tiba aku ingat. Kalau tidak salah, di ujung persimpangan jalan ini ada halte bus. Aku mendongak. Menyambut tetesan air dingin yang jatuh dari langit, basah dan menggelitik. Segera aku berlari kecil.

Berteduh dengan menyandarkan tubuh ke tiang halte, kupandangi bus datang bergantian. Hingga mataku menangkap bus jurusan yang mengarah ke sekolah. Hari ini cukup sial. Bahkan tidak mendapatkan pegangan tangan. Padahal jaga-jaga kalau sopirnya ugal-ugalan selama perjalanan. Aku mendesah. Think of good things mungkin membantu.

Tiba di depan gerbang, tidak ada satpam berjaga. Aku berlari memasuki sekolah, mencari ruang guru. Tepat ketika melihat plang bertuliskan "Ruang Guru", dari arah kiri, seseorang menabrakku. Bokongku menghempas lantai. Aku meringis kesakitan.

Mendongak, kulihat siapa pemilik tubuh kuat bak dinding itu. Dia menatap tajam layaknya elang dengan air muka tegas. Aku bergidik saat dia menyeringai. Cepat-cepat aku bangun dan membungkuk meminta maaf. Saat melewatinya, dia mencekal tanganku, lalu membalikkan tubuhku hingga menghadapnya secara paksa.

Dia menyunggingkan sudut kanan bibirnya. "Anak baru?"

"Ya. Saya harus ke ruang guru. Apakah masih ada yang perlu dibicarakan?"

Dia mendekat dan berbisik, "Ah, gila. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama." Kemudian, menjauhkan tubuhnya seraya mengeluarkan sebuah kartu dari saku kemeja, dan memberikan itu padaku. "Kartu blackjack. Ini sebuah tanda, seperti tanda pengenal."

Tanpa menunggu respons, dia meninggalkanku termenung. Memikirkan apa yang baru saja terjadi.

"Blackjack? Aku nggak tahu cara bermain kartu!" teriakku. Namun, punggungnya sudah tidak terlihat. Menghilang cepat bersama kaki panjangnya. Aku menghela napas.

Ya Tuhan ....

Belum juga otakku sepenuhnya mencerna hal tadi, seseorang tiba-tiba tersungkur di hadapanku. Terpeleset akibat lantai licin. Ingin sekali aku tertawa, tetapi tidak tega. Berlari kecil menghampirinya, aku lantas membantu mengumpulkan buku-buku yang berserakan.

"Thanks," ujar laki-laki itu.

Aku tersenyum ramah. "You are welcome."

***

"Perhatian, anak-anak! Kita kedatangan teman baru. Silakan perkenalkan diri kamu," ujar Pak Nathan yang akrab dipanggil Pak Han, Wali Kelas.

"Saya, Abby Marchella Treffen. Ehm, kalian bisa panggil Abby, Ab, atau By. Terserah kalian. Semoga kita bisa berteman."

Pak Han tersenyum dan mempersilakanku duduk. Beliau bilang, aku bisa mencari tempat dudukku sendiri. Apa beliau bercanda? Jelas-jelas hanya ada satu kursi kosong. Tepat di depan mejanya. Aku segera duduk, tetapi tidak melihat orang yang sebangku denganku. Hanya ada sebuah tas.

Perhatianku teralih pada laki-laki yang tadi terpeleset di koridor. Dia masuk dan langsung berjalan menuju mejanya. Dia menatapku, meminta penjelasan.

"Abby, anak baru. Nggak ada bangku la-"

"Pantes gue baru ngeliat lu," gumamnya pelan, lalu menggambar manga di buku. "Gue kira nggak bisa ngomong bahasa Indonesia," lanjutnya tampak berbicara sendiri.

Eternally [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang