[6] Nomor Tidak Dikenal

87 27 4
                                    

Lovely Saturday!

+6281234567890: Pagi ini begitu cerah. Gimana kalau kamu balikin jaketku?

Dahiku berkerut, mencoba mengingat-ingat soal jaket. Jaket, ya? Jaket yang aku pinjam? Hell-o, ini Tommy? Segera aku masukkan nomor teleponnya ke dalam kontak dengan nama "Tomcat" agar lebih mudah dihindari.

Abby Marchella T: Wah, sekarang apa lagi? Setelah tahu namaku, kamu mencari tahu nomor teleponku juga? Benar-benar sesuatu, ya. Anyway, dapat dari mana?

Apa mungkin dari Atha? Sial! Kalau begitu, tidak seharusnya kemarin aku mengirimi Atha pesan. Beginilah akhirnya. Dengan mudah orang yang ingin kuhindari malah mengirimku pesan.

Tomcat: Apa itu penting? Harus kujawab? Nggak perlu. Yang paling penting sekarang adalah jaket. Kita ketemu di taman area sekolah dan kamu balikin jaketku. Paham?

Abby Marchella T: Ya ampun, Tom! Masih ada hari Senin, kenapa kamu harus mengganggu libur pertamaku? Kamu tidak berperikeliburan.

Tomcat: Aku nggak peduli. Ke taman area sekolah sekarang juga!

Aku melompat dari sofa, berlari masuk kamar dan mengganti baju. Untung saja saat aku sampai di halte, busnya juga sampai. Jadi, aku tidak perlu menunggu. Turun dari bus, kubuka aplikasi Google Maps, mencari tahu letak tempat yang Tommy maksud.

Menoleh ke kanan lalu ke kiri, kucari Tommy yang batang hidungnya belum terlihat. Aku duduk di kursi taman dan menunggu kedatangan makhluk itu. Dia berjalan ke arahku, seperti dalam video slow motion. Angin berembus. Tommy memasukkan kedua tangan di saku, bergaya keren dengan kemeja biru dongker—kancing atas dibiarkan terbuka, lalu menyisir rambut ke belakang dengan jari-jarinya.

Si Bodoh, wajah babak belur, hidung luka, masih saja bertingkah. Aku menggigit lidahku, menahan tawa. Pipiku berkedut. Kupalingkan wajah sembari menutup mulut, agar dia tidak menyadari kalau aku bisa menyemburkan tawa kapan saja. Tommy menarik-narik rambutku dengan jahil. Aku menepisnya dan mengatur napas.

Beranjak dari duduk, kuberikan paper bag berisi jaketnya. "Nih, sudah nggak ada urusan lagi, kan?" ucapku sambil tersenyum, lalu menengadahkan tanganku padanya. "Berikan aku uang transportasi."

Tommy membelalak. "Apa? Minta uang? Kamu nggak punya sampai minta ke aku?"

Aku mengedikkan bahu, sambil menginjak-injak tanah di bawah kakiku. "Cepat berikan saja! Aku sedang menghemat, kamu sendiri yang memaksaku. Padahal kita masih bisa bertemu di sekolah. Ini kan merepotkan, buang-buang uang dan waktu berhargaku."

Dia menunjukku. "Kamu yang pinjam jaketku!"

Aku menatapnya kesal seraya berkacak pinggang. "Enggak ada sedikit pun niat di hatiku untuk meminjam jaketmu. Aku mengirim pesan pada Atha, ingin meminjam jaketnya, bukan milikmu! Kenapa kamu selalu marah-marah? Kamu niat nggak, sih? Bikin kesal aja."

Tommy manggut-manggut. "Pada akhirnya kamu pakai jaketku."

"Terpaksa!" teriakku frustrasi. Aku menunjukkan tiga jari tepat di depan wajahnya. "Tiga suku kata, ter-pak-sa! Sangat ter-pak-sa. Karena kamu membuatku marah, kamu harus traktir aku makan."

Tommy menunjukkan delapan jari tepat di depan wajahku. "Delapan suku kata, ti-dak a-da hu-bung-an-nya!"

Aku memutar mataku malas. "Aku nggak tuli. Apa kamu harus berteriak?"

Tommy bersedekap. "Aku nggak peduli."

Air mata menetes. Aku menangis sesenggukan. Orang-orang di sekitar mulai berbisik.

"Pacarnya dikasarin, ya? Laki-laki berengsek."

"Masa berantem sampai bikin perempuannya nangis? Nggak beres."

Tommy kebingungan. Dia menyeretku pergi dari kerumunan orang yang salah paham. "Ya udah. Dasar siput! Cepetan jalannya! Mau makan di mana?" Lagi-lagi dia berteriak. Padahal, jarak kami tidak lebih dari satu meter.

Aku mendengkus sambil menyeka air mata di pipi. "Berhenti berteriak, Tom!"

Di restoran, aku memesan steak dan minuman paling mahal sekaligus take away. Lumayan, bisa dipanaskan lagi di rumah. Dia menggeleng melihat bill yang dibawa pelayan. Tommy menatapku tajam, sedangkan aku hanya mengangguk-angguk sambil mengunyah; mengelap pipiku yang tidak sengaja terkena saus.

Kuketuk meja beberapa kali. Tommy memicingkan mata ke arahku. "Tom, tadi aku lihat ada penjual harum manis, aku mau—"

Tommy melipat tangannya di dada. "Beli sendiri! Ini pemerasan!"

Aku menopang dagu sambil mengunyah. "Berhenti menaikkan suaramu! Kamu juga suka menindas aku di sekolah, jadi kalau aku memerasmu itu tidak masalah," sahutku setengah berbisik.

"Dasar nggak tahu diri," gumamnya.

Aku menatapnya heran. "Berhenti bersikap bahwa kamu adalah korban."

Tommy melempar tisu ke arahku. "Makan yang benar, kamu bikin aku malu!"

Hidungku memang terkena saus. Aku terkekeh sambil mengelapnya dengan tisu. "Kamu nggak makan? Apa kamu diet, Tuan Taraksa?"

Tommy memandangiku lama. "Kenapa? Segitu nyamannya, ya, kamu di depanku?"

Aku langsung tersedak, kemudian mengumpat dan berdeham. "Nyaman apanya."

"Biasanya sih, cewek ngejaga image-nya di depan cowok, apalagi kalau lagi makan."

Aku berdecak. "Omong kosong, berhenti mengatakan jaga image. Aku nggak peduli bagaimana tanggapan orang sepertimu tentang diriku maupun hidupku."

Dia menunjuk dirinya sendiri. "Orang sepertiku? Kamu seharusnya bangga karena orang seperti aku traktir kamu makan di tempat mewah kayak gini."

"Biasa aja, tuh. Tom, diamlah. Jika kamu terus mengajakku berdebat, bagaimana makananku bisa habis?"

Setelah selesai makan, aku beranjak dari kursi dan menatap Tommy yang masih duduk. "Ya udah. Aku pulang ya. Bye!"

"Say thanks?"

"Buat apa? Kamu juga nggak pernah minta maaf karena sudah menindasku."

Tommy tersenyum tipis. "Bilang aja kalau kamu pengen ditemenin makan sama aku."

"Dasar bocah narsis!" cibirku.

Melesat keluar restoran, aku menghampiri penjual harum manis. Sudah lama tidak makan ini. Papa bilang, tidak baik untuk kesehatanku. Maaf, Papa, hanya sesekali saja. Aku menggenggam tangkainya dan mendekatkannya ke wajahku. Sialan! Lengket!

Menoleh, kudapati Tommy yang baru saja mendorong kepalaku. Hingga harum manis mencium wajah dan rambutku. Kuambil harum manis dengan telapak tangan, lalu kuusapkan pada wajah Tommy. Dia melirikku sinis.

Dengan ide gila yang terlintas di benak, kulempar sisa harum manis ke atas kepalanya. Tommy terperanjat. Segera aku berlari menuju halte bus, sebelum mendengar dia memaki atau membalasku dengan hal yang lebih gila.

Eternally [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang