[5] Loker

77 30 3
                                    

Aku menaruh jaket Atha di mejanya. Sekarang tinggal milik Tommy. Tidak tahu di mana kelas laki-laki itu, aku menunggu di parkiran. Mama bilang, orang baik akan datang saat dibicarakan, tetapi aku tidak setuju. Apalagi kalau orang itu adalah Tommy. Mengeluarkan jaket dari tas, kuhampiri Tommy yang baru saja keluar dari mobil. Kulempar jaket itu, tetapi dilempar balik ke wajahku.

"Kasih yang benar!" serunya sinis.

Tangan ini berat sekali, rasanya. Aku menggantung jaket di spion mobil. Ingin segera menuju kelas karena sebentar lagi bel berbunyi. Dia menarik seragamku dari belakang. Aku menepisnya cepat dan berlari sebelum diterkam. Kembali ke kelas dengan selamat, lalu berniat menyapa Atha yang sudah sampai; asyik menggambar manga.

"Pagi," sapanya pelan tanpa mengalihkan pandangan.

"Pagi, Tha," sahutku. Atha mengangguk.

Terdapat post-it note di mejaku.

Pergi ke lokermu sekarang juga!

"Disuruh Tommy." Atha tidak repot-repot menoleh. Dia lebih peduli pada gambarnya, pada waifu tercinta. Mata pandanya adalah hasil begadang semalaman.

Aku menatap jam dinding. "Malas. Sebentar lagi bel masuk. Bilang saja pada Tommy, kalau mau mencari masalah denganku, kita bisa bertemu nanti."

"Itu kan urusan lu. Gue nggak mau ikut-ikutan. Bilang aja sendiri."

"Kamu menyebalkan, Tha."

Aku mengembuskan napas gusar, sembari mengambil buku untuk kegiatan belajar. Omong-omong, sudah lama tidak lihat Laki-Laki Sudut Ruangan dan Carel. Kalau Atha dan Tommy sih, aku sampai mual berjumpa setiap hari. Lagi pula, aku tidak bisa menghindari Atha, teman sekelas sekaligus teman sebangku. Berbeda dengan Tommy. Kami hanya satu sekolah, tetapi kenapa aku selalu bertemu dengannya?

Mrs. Rena masuk lalu mengabsen para siswa. Setelah selesai, Mrs. Rena beranjak dari kursi dan menerangkan materi. Pintu kelas diketuk. Tommy melempar senyum ke arah Mrs. Rena. "Maaf mengganggu proses pembelajaran, Mrs. Saya ada keperluan dengan Abby. Bolehkah saya meminjam Abby sebentar?"

Mrs. Rena beralih menatapku. "Silakan, Abby."

Aku menggeleng cepat. "Enggak, Mrs. Terima kasih. Saya nggak ada urusan—" Ucapanku terhenti karena Tommy mengibaskan tangan supaya aku mengikutinya. "Oh, kalau gitu saya izin dulu ya, Mrs. I'll be back soon."

Aku dan Tommy berhenti melangkah tepat di depan lokerku. "Ini lokerku, ada apa? Cepat katakan, jangan buang-buang waktu!"

Dia memiringkan kepala, entah ke arah mana matanya melihat. "Kamu jadi pacarku."

Aku bergidik. "Nggak mau."

"Itu bukan pertanyaan, tapi sebuah pernyataan."

"Nggak. Caramu aneh. Aku mau kembali ke kelas."

Dia terdiam sejenak, lalu menjentikkan jari. Entah muncul dari mana laki-laki yang membawa keranjang berisi telur. Tommy menggumam, "Sekarang."

Orang sialan itu melempari lokerku dengan telur. Aku melongo. Suara langkah kaki terdengar bersahutan. Mereka adalah Atha, Carel dan Laki-Laki Sudut Ruangan. Tersadar, segera aku berlari ke loker, mengambil barang-barang penting. Kelopak mataku panas. Kenapa loker ini harus memiliki celah seperti ventilasi? Aku merutuki pembuat loker sekolah, tidak ketinggalan merutuki Tommy dan Laki-Laki Pelempar Telur.

Tommy, Atha, Carel dan Laki-Laki Sudut Ruangan berbicara. Tampaknya berdebat. Setelah melemparkan telur-telur sialan itu ke lokerku, serta membuat barang berhargaku kotor dan bau amis, Laki-Laki Pelempar Telur hanya mematung dengan tubuh bergetar.

Eternally [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang