[7] Sekelompok Pengacau

92 29 4
                                    

Setelah mandi dan berpakaian, kebiasaan baruku sepertinya membuka Google Maps. Sungguh aplikasi bermanfaat. Membantuku tiba di alamat yang dituju. Walaupun sempat tersesat, akhirnya aku menemukan rumah Bagas. Belum sempat aku memencet bel rumahnya, dia sudah berdiri di depanku.

"Pindah haluan, ke rumah Atha," ucapnya dengan air muka kesal.

"Tapi, aku kan baru aja sam—" Dengan cepat aku menggeleng sebelum menyelesaikan kalimatku. "Oh, oke."

Bagas berjalan ke garasi. Aku mengekor seperti anak ayam. Dia memberiku helm. Untung saja aku jarang pakai rok. Saat seperti ini memang lebih baik pakai celana. Kami terjebak macet. Lampu merah sampai tiga kali. Bagas bergumam membicarakan Atha. Dari raut wajahnya, tampak menahan emosi. Mungkin jengkel akibat perubahan rencana.

Kupeluk helm, menunggu Bagas. Motor diparkir sembarang di halaman rumah Atha. Bagas menggantung helm di kaca spion—yang segera kutiru, lalu melangkah lebar sampai aku tertinggal. Tahu-tahu aku menabrak seseorang yang melintas tiba-tiba dari arah kiri.

"Oh, maaf. Pak Han?" Aku membungkuk. "Maaf, Pak."

"Ya, nggak apa-apa. Ini di luar sekolah, kamu bisa panggil saya Kakak atau Nathan, buatlah dirimu nyaman. Kamu mau ngerjain tugas sama Atha, ya?"

Aku mengangguk dan tertawa canggung. "Maaf, kalau ini agak tidak sopan. Saya hanya ingin bertanya, Pak Han, eh, maksud saya Kakak dan Atha ...."

"Saya kakaknya Atha," ungkap Pak Han.

"Apa?!" seruku setengah berteriak. Kutatap Pak Han alias kakaknya Atha dengan senyuman kikuk. "Ka-kalau begitu saya duluan ya, haha .... Mereka sudah menunggu."

Langsung aku berlari menuju Atha dan Bagas yang mungkin sedang di ruang tamu.

"Atha, Ba—oh, ya ampun, mereka!" Aku kembali setengah berteriak. Melihat Carel, Erland dan juga Tommy. Paket lengkap pembuat onar.

"Reaksimu berlebihan," sela Tommy, membuatku mendelik kesal.

Aku beralih menatap Atha dan Bagas bergantian. "Cepat kita kerjain sekarang juga!"

"Lapar, belum sempat makan," Erland buka suara, diikuti anggukan kepala Carel.

Berkacak pinggang, aku menatap Erland dan Carel. "Kalian nggak ada hubungannya dengan kelompokku." Beralih kutatap Atha dan Bagas. "Tha, Bagas. Aku nggak mau tahu, kita selesaikan sekarang."

Atha terdiam sejenak lalu mengangguk, sedangkan Bagas langsung setuju.

"Kamu," aku menunjuk Tommy, "dan kalian berdua." Beralih kutunjuk Carel dan Erland. "Dilarang mengganggu!"

"Siapa juga yang mau ganggu?" sahut Carel dengan wajah masam.

Erland menaikkan satu alisnya. "Padahal aku sudah bikin rencana—"

"Diamlah, Erland! Sekarang kamu jadi banyak bicara."

Selesai mengerjakan tugas kelompok, aku ingin segera pergi, tidak mau berlama-lama seruangan dengan mereka. Siapa tahu kalau aku berlama-lama, hal yang tidak aku inginkan justru terjadi. "Tha, aku pulang ya. Salam buat orang tua kamu dan Kak Han dari Abby."

"Wait. Kak Han? Kamu udah ketemu sama Kak Nathan?" Atha tampak terkejut.

Aku mengangguk. "Ya, kenapa?"

Atha mendekat ke arahku dan berbisik, "Ini rahasia, By."

Aku mengedikkan bahu, berjalan keluar dari rumah Atha. Namun di depan gerbang, aku kembali bertemu dengan Kak Han.

"Abby, sudah mau pulang? Mau saya antar?"

Aku mengibaskan tangan. "Nggak usah, Kak. Abby bisa pulang sendiri."

Kak Han menarik senyum simpul. "Saya juga lagi senggang, kok."

Ketika mendengarnya, aku hampir meleleh di tempat. Rindu pada Abraham. Aku tertawa canggung atas tawaran Kak Han. "Abby sih nggak apa-apa kalau nggak merepotkan."

"Oke, tung—" Ucapan Kak Han terhenti karena Tommy menyelanya.

"Abby, aku masih ada urusan sama kamu."

Bikin kesal! Aku menunduk hormat pada Kak Han. "Kak, saya pulang duluan."

Kemudian, berlari menjauh dari mereka, terutama Tommy. Aku tidak meminjam barang ataupun berbuat salah padanya hari ini. Apa dia masih dendam karena mentraktirku makan makanan mahal sekaligus perang harum manis tadi siang? Saat berlari, aku menoleh sekilas ke belakang, dan bagusnya tidak ada Tommy. Mulai lelah, lariku melambat.

Langkahku terhenti begitu melihat Tommy keluar dari semak-semak, tepat di hadapanku. Mundur, kakiku hilang keseimbangan. Sudah pasti aku akan jatuh jika bukan karena Tommy. Tangan kirinya menahan punggungku, sementara tangan kanannya memegang erat lenganku. Kami terpaku, saling pandang.

"Ternyata berat," bisiknya.

Aku mengerjap, membenarkan posisi berdiri. Di saat seperti ini dia masih bisa mengatakan hal semacam itu. Aku diam menatapnya. Dia meraih tanganku dan menyeretku.

"Ada apa? Ini mau ke mana? Aku buat salah apa? Kita tadi kan udah impas."

"Kamu banyak ngomong, berisik!" Membuka pintu mobil, dia mengambil kotak sepatu, lalu mengeluarkan isinya. Tiba-tiba berjongkok di hadapanku. "Lepas flat shoes-nya."

Aku menunduk menatapnya dan mundur selangkah. "Kenapa?"

"Tumit kamu luka." Tommy menaruh sepatu di depan kakiku. "Cepat buka!" bentaknya, membuatku terkejut dan segera melepas flat shoes.

Tommy lantas memegang kakiku dan memakaikanku sepatu miliknya. Aku tidak tahu sejak kapan tumitku terluka. Mungkin karena pikiranku dipenuhi cara kabur dari Tommy. Sekarang perihnya menjalar menggigit kulit. Sepatu Tommy kebesaran.

Tommy mendongak, sekilas menatapku. "Talinya."

Refleks aku mundur selangkah. Tindakanku membuat Tommy terjatuh dengan kedua tangan dan lutut menyentuh tanah. Rupanya, Tommy hanya ingin mengikatkan tali sepatu.

Tommy menatapku sebal. Dia kembali berjongkok. "Kamu sengaja, kan?"

Aku menggeleng cepat. Tangan Tommy mengarah ke sepatu yang saat ini kugunakan, mulai mengikat talinya. Flat shoes dimasukkan ke kotak sepatu dan diberikannya padaku.

Tommy bangkit, membuka pintu mobil, kemudian mendorongku pelan agar masuk ke dalam. Dia berlari mengitari mobil untuk duduk di kursi kemudi. "Dengarkan aku baik-baik dan jawab. Kenapa kamu nggak mau?"

Pupilku membesar. Tatapan kami beradu. Aku bingung, tidak tahu konteks pertanyaan itu. "Mau apa? Topiknya masih sama? Kalau iya, aku tetap nggak mau, titik."

"Jadilah pacarku. Apa aku harus memohon memintamu jadi pacarku?"

Kembali aku menatapnya. Menghela napas, mengingat sesuatu yang lucu di masa lalu. "Kenapa aku? Apa kamu gila atau terobsesi? Kenapa?"

"Itu bukan obsesi—"

Aku berdecak, menyunggingkan sudut kanan bibir. Menatap matanya dalam. "Kamu berpikir menyukaiku karena aku orang pertama yang berani menentangmu? Berhenti, Tom. Kamu hanya penasaran. Sebaiknya kamu bedakan antara suka, cinta, sayang dan penasaran."

"Memangnya siapa kamu, merasa bisa mengetahui perasaanku?"

Dia benar, memangnya siapa aku? Tanganku mengepal. "Kamu pikirkan baik-baik, ini bukan tentang perasaanmu saja, tetapi melibatkan perasaanku juga. Jangan main-main!"

Merasa kesal, aku turun dan membanting pintu mobil Tommy, bersamaan dengan dia membanting setir. Kubuka sepatu yang sedang kupakai dan menggantinya dengan flat shoes, kemudian kutaruh kotak beserta isinya itu di pinggir jalan.

Eternally [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang