Merasa terganggu dengan rambut digerai, aku mengikatnya dan kembali berjalan sambil bersenandung. Melirik kubangan bekas air hujan semalam. Kutatap lurus jalan di depan, sontak berpaling ketika mendengar klakson mobil dibunyikan beruntun. Mobil itu melintasi kubangan air dengan kecepatan tinggi, membuat tubuhku basah sekaligus kotor.
Tiba di depan parkiran, dengan sok keren si Kunyuk bersandar pada mobil. Aku mendekat, lalu menendang kuat tulang keringnya. Berjongkok membuka semua dop ban mobil dengan cepat dan melempar asal. Dia menarik pergelangan tanganku, membenturkan punggungku di mobil.
"Kamu gila, ya?!" bentaknya.
Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan emosi. Mencoba mengembuskan napasku secara teratur. "Aku bisa lebih gila darimu. Ingin marah soal dop ban mobilmu? Kamu tidak lihat bajuku?"
"Itu salahmu karena berjalan di sana."
"Lihat nih, bajuku basah dan kotor karena ulahmu. Kamu masih belum mengerti di mana salahmu? Seharusnya kamu mengurangi kecepatan mobil saat melintasi kubangan air!"
Dia menatap seragamku, kemudian langsung mengalihkan pandangannya dan menghela napas panjang. "Kamu transparan."
Menjauhkanku dari mobil, dia membuka pintu dan mencari sesuatu di dalam. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Segera aku ikut melihat penampilanku lewat pantulan kaca mobil. Memang transparan. Harga diriku! Ingin aku memaki sekencang mungkin pada Tom. Namun, kunyuk itu melemparkan jaket tepat di wajahku, yang dengan cepat langsung kupakai. Rasanya mau bolos saja dan pulang ke rumah. Mama, aku malu!
Aku serta-merta berbalik, siap untuk lari.
"Kamu mau bolos karena seragam?"
Gerakanku terhenti. Dia memegang tanganku.
"Bukan urusanmu!"
Dia mengeratkan pegangan tangannya.
Aku menggumam, "Dasar mesum."
Setelah melihatku dan mengucapkan kata "transparan" dengan wajah datar, dia membuatku malu sekaligus kesal. Mudah sekali bilang begitu. Terima kasih sudah memberitahuku. Aku ingin pulang, ingin menghilang saja. Bumi, telanlah aku sekarang!
"Lepaskan!" teriakku meronta, sementara dia menyeretku. Memancing sorot mata penghuni sekolah.
Dia mendorongku masuk kelas. Orang-orang menatapku penuh arti. Apa yang mereka pikirkan, sih? Seorang laki-laki mengantar pacarnya? Atha juga, untuk apa menyeringai sembari menaikturunkan alis? Dasar, Manusia Bawang!
Aku berjalan menuju tempat duduk sambil menunduk.
Atha berdeham. "Kenapa nunduk? Lagi cari recehan atau lu udah berbuat salah ke Tommy pagi ini?" Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Enggak biasanya Tommy kasih pinjam barang miliknya ke orang lain."
Mataku menangkap jaket Atha tergeletak di atas meja. Aku melepas jaket Tommy dan segera memakai jaket Atha. "Tha, aku pinjam jaketmu, dan ini," kuberikan jaket Tommy pada Atha, "kamu kembalikan padanya."
Atha menaruh jaket Tommy kembali ke mejaku. "Malas. Kasih aja sendiri ke orangnya. Apa lu takut?"
"Kalau kamu nyuruh aku ... aku akan berbuat jahat pada jaket yang tidak bersalah ini," jawabku sambil menatap sedih jaket Tommy.
"Gue nggak akan tanggung jawab." Atha mengangkat tangan seperti korban yang sedang ditodong senjata oleh pelaku.
Aku menatapnya malas, lalu beralih memandangi jaket Tommy dengan sendu. "Jaket, aku tahu kamu tidak bersalah, tetapi aku hanya ingin membalasnya. Maafkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternally [Telah Terbit]
Teen FictionDi hari pertama kepindahannya ke sekolah baru, Abby merasa tertimpa nasib buruk. Bertemu Thomas-Ketua Geng Wolverine-justru mengantarkan Abby pada serangkai penindasan. Yang tanpa dia tahu, adalah cara cowok itu mencari perhatian. Abby menjauhi Thom...