[3] Ancaman

113 40 8
                                    

Aku menyambar tasku yang tergeletak di lantai—tadi tidak sengaja terlempar. Mengapit roti dengan mulut, kemudian mengencangkan tali sepatu. Bisa-bisa terkena gangguan pencernaan jika makan sambil berlari.

Kesulitan tidur semalam berakibat telat bangun pagi. Akhirnya aku dihukum oleh Bu Vania. Tidak boleh mengikuti pelajarannya dan harus mengumpulkan laporan tentang materi hari ini. Aku tercengang.

Bu Vania bilang, laporan itu harus kukerjakan di luar kelas, dekat pintu ruangan. Demi memudahkan beliau mengawasi, sementara aku mendengarkannya menjelaskan materi. Aku dituntut multitasking walaupun sedang dihukum.

Setelah meminjam beberapa buku dari perpustakaan, aku keluar dan menabrak seseorang. Buku-buku yang kubawa terjatuh. Inilah akibat melamun. Segera aku menunduk, hendak mengucap maaf, tetapi kuurungkan niat setelah melihat siapa yang berdiri di depanku. Kenapa harus dia dari sekian ratus orang di sekolah?

"Matamu masih berfungsi, kan? Kakimu juga masih berfungsi, kan?"

Karena waras, aku mengalah. Menggumamkan maaf sepelan mungkin dan langsung mengumpulkan buku-buku yang berserakan. Dia tidak membantuku, bahkan menginjak salah satu buku di dekatnya. Aku mendongak, menatap tajam. Buku itu ditendang jauh.

Tatapanku berubah marah, sedangkan dia menyeringai dan berbalik meninggalkanku. Aku berlari mengambil buku yang ditendang makhluk sialan itu, lalu kulempar tepat memukul belakang kepalanya.

Headshot, Man!

Kudengar dia berteriak kesakitan. Tidak sia-sia juga Abraham mengajariku bermain baseball dan melatihku menjadi seorang pitcher. Dia berjalan ke arahku dengan langkah lebar. Merasa terintimidasi, aku mundur teratur, hingga punggungku menabrak dinding. Membuatnya lebih mudah memojokkanku. Dia menatap tajam, dan aku tidak mengerti. Siapa yang salah?

"Apa?" tanyaku, berusaha tegas agar tidak terlihat terintimidasi.

"Apaan?!" teriakku lagi, mencoba menepis rasa takut.

"Entahlah," sahut Tommy.

"Kamu ... kamu menendang buku yang kubawa. Aku kesal, jadi ...."

Dia ber-oh-ria. "Jadi, kamu ngamuk?"

"Yah ... jadi, aku refleks melempar buku itu padamu."

"Kamu pasti tahu, semua ada balasannya."

Aku mengangguk setuju. "Semua memang ada balasannya. Aku melempar buku padamu juga untuk membalas perbuatanmu. Maka, kita impas."

Dia menautkan alis. "Kamu duluan yang menabrakku di pagi hari yang indah ini."

"Itu tidak sengaja," gumamku pelan.

"Bukankah begitu, Abby?"

Bulu kudukku meremang, mendengarnya menyebut namaku.

"Jangan sebut namaku! Kamu nggak ingat perbuatanmu? Menyekapku di sebuah ruangan pada hari pertama aku masuk sekolah. Gila! Kenapa aku harus menderita karenamu?" teriakku pada Tommy yang kian menjauh.

***

Setelah menjalani hukuman dari Bu Vania, tepat jam istirahat, aku berjalan di area sekolah yang belum aku jelajahi. Sebut saja rekreasi. Melewati lapangan, tak sengaja aku membuat kontak mata dengan ... ah, dia lagi. Baiklah, jangan dipedulikan. Dia kembali memanggil namaku. Haruskah aku menoleh dan menjawabnya dengan manis?

Ya, ada apa?

Sungguh menggelikan.

Mendadak kepalaku sakit dibentur sesuatu. Langkahku sedikit goyah. Aku menoleh pada Tommy dengan tatapan mematikan, sementara dia hanya mengedikkan bahu. Merasa tak bertanggung jawab.

Eternally [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang