1 – Bukan Awal
"Sorry, ini salah gue...," ujar seorang gadis bersurai hitam itu pelan, "seharusnya gue nggak seceroboh itu."
Hari itu, tepat pukul dua belas kurang duapuluh menit rombongan tim marching band Gita Bhina Ganesha sukses menjalankan misi—tugasnya. Ah, jangan lupakan kesalahan-kesalahan yang tak sengaja mereka lakukan. Tak sengaja benar, 'kan? Mana mungkin mereka dengan sukarela melakukan kesalahan setelah melewati persiapan dengan berbagai jenis latihan berbulan-bulan lamanya.
Seusai perlombaan marching band tingkat provinsi itu berlangsung dan masih dengan atribut yang lengkap, tim dari SMAN Bhina Ganesha pun menuju basecamp—tempat mereka berkumpul selama persiapan seminggu terakhir dan di tempat ini pula sekarang mereka berada.
Lantas isak tangis mereka pun pecah begitu saja kala mereka berkumpul di basecamp itu. Beberapa di antaranya saling berpelukan masih dengan air mata yang membasahi wajah mereka. Tawa yang tadinya memecah keheningan—sebelum perlombaan, kini berganti dengan suara tangis member Ginasha—Gita Bhina Ganesha. Ini semua berawal dari kesalahan mereka—beberapa orang lakukan.
Saat itu, tepatnya pada saat transisi dari lagu kedua ke lagu ketiga, seorang gadis yang merupakan bagian dari divisi Colour Guard melakuan kesalahan kecil. Kesalahan yang bisa saja menjadi kesalahan yang cukup fatal di mata dewan juri. Saat itu, salah satu ujung bendera besar yang melintang di lapangan perlombaan terlilit cup yang menjadi pembatas ataupun tanda perhitungan gerakan Ginasha akibat pergerakan kaki Deana yang salah.
Ah, tidak hanya itu saja. Bahkan kesalahan itu pun sangat fatal karena akan berdampak pada koreografi yang berantakan, mungkin juga akan menjadi ending yang sangat buruk dalam catatan sejarah Ginasha apabila salah satu juri lapangan tidak mengembalikan—merapikan bendera besar yang melintang dari sebelah barat sampai timur gor perlombaan itu berlangsung.
"Ini bukan salah lo aja, De," celetuk Zikri, laki-laki yang termasuk dalam divisi Brass. "Gue tadi juga buat kesalahan. Untungnya gue langsung sadar dan barisan masih tetap rapi."
Suara isak tangis itu masih memenuhi ruangan berukuran 5 x 5 meter saat sebuah suara berat lainnya bersuara. "Sorry, Bro. Tadi gue yang salah sampai nabrak lo gitu. Langsung sadar sih, tapi tetap aja itu semua salah gue," sahut Danny dengan muka yang agak memerah.
Lantas semua pasang mata yang berada di basecamp itupun langsung mengalihkan pandangannya, menatap laki-laki itu dengan kening berkerut. Karena sungguh, sangat jarang mereka temukan sosok laki-laki tak jelas itu mengakui kesalahannya. Ah, bahkan Danny pun tak pernah menunjukkan raut wajah seperti itu di depan teman-teman. Dan jelas saja, jika semua itu menarik perhatian anak-anak Ginasha di sela kesedihan.
"Lo sehat, Dan?" tanya Tegar, laki-laki yang masih memegang stick drum di salah satu sudut ruangan.
Danny mengangguk.
"Anjir! Demi apa? Beneran nggak sakit, 'kan, Dan?" tanya Daniel yang merupakan leader dari divisi brass, "apa perlu gue bawa ke rumah sakit, nih? Tenang gratis kok, semua biaya gue tanggung demi kebaikan bersama."
"Hm ... mungkin rumah sakit jiwa kali ya yang lebih cocok buat lo," sambung Daniel kemudian.
Daniel tertawa sesaat karena tak perlu waktu lama bagi Danny untuk menghentikan tawa laki-laki itu dengan memukul keningnya menggunakan stick drum yang telah ia rebut dari tangan Tegar. Dan tak perlu waktu lama bagi Daniel untuk bereaksi—meringis. Sebentar saja karena setelahnya mereka berdua tertawa kencang lalu tawa renyah anak-anak lainnya pun ikut pecah secara bersamaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Denara
Novela Juvenil-November 2016- Ini hanyalah sepenggal kisah tentang rasa yang menyusup dalam keheningan. Tentang rasa yang pernah menggetarkan lalu redup. Ini hanyalah sepenggal kisah milik Sang Hujan di Bulan November yang menunjukkan pada kita bagaimana caranya...