6 – Sang Hujan di Bulan November
Matahari semakin condong ke arah barat. Hari yang terasa panjang ini akan segera usai. Setelah briefing antara member Ginasha serta seperangkat pengurus lainnya selama kurang lebih duapuluh menit yang lalu, mereka akhirnya satu persatu meninggalkan alun-alun Kota Serang. Hanya orang-orang tak berkepentingan, orang-orang jomblo yang tengah menunggu dijemput, serta peserta lainnya yang masih setia berada di pusat kota sore ini meski kini jam menunjukkan pukul 15.40.
Kondisi yang berangsur-angsur sepi ini membuat gadis dengan make up setengah luntur itu menyesali keputusannya untuk tidak ikut anak-anak lainnya kembali ke sekolah. Di tengah orang-orang yang memiliki teman berbincang, dia agaknya merasa kesepian. Berkali-kali dia merutuki ponsel dengan case berwarna tosca yang tak berdosa itu. Pasalnya, sang abang ojek—Deandra—tak dapat dihubungi sedari tadi. Meski katanya semalam dia siap on time menjemputnya kali ini. Cih, mana mungkin!
Iseng, Deana kembali membuka aplikasi ber-icon hijau itu. Ya, berharap setidaknya dapat sedikit membunuh rasa jenuhnya. Dia hampir lupa kalau sebelumnya dirinya tengah bertukar pesan dengan orang aneh di aplikasi tersebut. Satu notif dari pemilik akun bernama ‘Sa’ itu pada akhirnya menggerakan jemari Deana untuk membuka pesan itu.
Sa.: Yakin, mau ketemu sekarang?
Deana mengedarkan pandangannya sembari mengetikkan pesan balasan. Alun-alun sudah tidak seramai tadi siang, tetapi tetap saja tidak mungkin dirinya menemukan orang itu.
De : Kenapa nggak?
De : Lo di mana?
Sa.: Gue masih di sekitar sana.
Lagi, Deana menggeram kesal. Terus saja laki-laki itu menarik ulur identitasnya.
De : Serius! Sana lo itu di mana?!
Gadis itu masih menunggu pesan sesungguhnya dari pemilik akun itu sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya ke layar ponselnya yang masih menyala. Sesekali dia mengedarkan pandangannya. Kali-kali menemukan laki-laki yang dicurigainya pemilik akun aneh itu atau mungkin Deandra yang telah menjemputnya.
Cahaya matahari kian meredup. Deana yang semakin kesal itu akhirnya memutuskan untuk berdiri dari duduknya lalu mondar-mandir—mengusir kegelisahannya. Tepat saat itu pula, getaran panjang di ponsel putih mengejutkan dirinya. Dia lagi-lagi memaki pemilik nomer itu dari layar ponsel sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.
“Bagus! Jam berapa ini, Bang?” serbu Deana langsung tanpa basa-basi.
Tak ingin berdebat lebih panjang, pemilik suara di seberang sana memilih berbicara langsung pada intinya. “Gue tunggu di seberang, buruan! Nggak pakai lama.”
“Putar balik apa susahnya, sih? Berasa berkilo-kilometer itu ya putar baliknya,” sahut Deana kesal.
“Nggak bisa, De. Nyebrang ajalah. Biar hemat tenaga, waktu, dan bensin, Cuy!”
“Nggak mau, pegel gue harus naik turun tangga penyebrangan. Lo nggak tahu apa gue seharian ini udah menderita setengah mati,” keluh Deana.
“Bodo amat, De, bodo amat. Buruan! Lima menit nggak datang, gue tinggal,” ancam Deandra lalu diakhiri dengan nada sambung berakhir.
Dengan rasa kekesalan yang semakin membuncah, dia melepas semua atribut yang masih melekat di kepalanya. Lalu, melangkahkan kedua kaki itu dengan gontai ke arah jembatan penyebrangan berada. Gerutuan-gerutuan serta makian-makian kasar terlontar begitu saja menemaninya sepanjang perjalanan. Lagi-lagi, dia dikejutkan dengan getaran panjang dari ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denara
Teen Fiction-November 2016- Ini hanyalah sepenggal kisah tentang rasa yang menyusup dalam keheningan. Tentang rasa yang pernah menggetarkan lalu redup. Ini hanyalah sepenggal kisah milik Sang Hujan di Bulan November yang menunjukkan pada kita bagaimana caranya...